Maksudnya, perbuatan-perbuatan ini tidaklah membatalkan shalat, tidak pula haram atau makruh jika terjadi di dalam shalat. Apa sajakah itu?
Daftar Isi
1. Menangis, baik karena takut kepada Allah, teringat akhirat, dosa, atau semisalnya.
Dalil-Dalil:
Allah Ta’ala berfirman:
إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ آيَاتُ الرَّحْمَنِ خَرُّوا سُجَّدًا وَبُكِيًّا
“Jika dibacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, maka mereka tersungkur sambil sujud dan menangis.” (QS. Maryam: 58)
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
والاية تشمل المصلي وغيره
“Ayat ini juga mencakup bagi orang shalat dan selainnya.” (Fiqhus Sunnah, 1/259)
Dari Abdullah bin Syikhir, dia berkata:
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي وَفِي صَدْرِهِ أَزِيزٌ كَأَزِيزِ الرَّحَى مِنْ الْبُكَاءِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Aku melihat Rasulullah ﷺ
shalat dan di dadanya ada suara seperti air mendidih karena tangisan beliau ﷺ.”
(HR. Abu Daud No. 904, Shahih. Lihat Misykah Al Mashabih No. 1000)
Dan masih banyak riwayat yang menceritakan menangisnya Rasulullah ﷺ, Abu Bakar, Umar, dan lainnya ketika shalat.
Tetapi ini hanya berlaku bagi tangisan disebabkan takut kepada Allah Ta’ala, AzabNya, neraka, azab kubur, dan hal-hal yang terkait dengan akhirat. Ada pun menangisi musibah pribadi yang terkait keduniaan adalah tidak boleh bahkan membatalkan shalat; menangis karena rumah kebanjiran, tidak bisa membayar hutang, ditinggal suami/istri, dan perkara dunia lainnya.
Begitu pula tangisan yang sampai tersedu sedu, sehingga mengeluarkan dua huruf. Seperti hu atau ha.
Tertulis dalam Al Mausu’ah:
يرى الحنفية أن البكاء في الصلاة إن كان سببه ألما أو مصيبة فإنه يفسد الصلاة، لأنه يعتبر من كلام الناس، وإن كان سببه ذكر الجنة أو النار فإنه لا يفسدها، لأنه يدل على زيادة الخشوع …
Hanafiyah berpendapat bahwa menangis dalam shalat jika sebabnya karena rasa sakit atau musibah, maka itu membatalkan shalat, karena itu dinilai sebagai kalamun naas (perkataan manusia). Namun jika sebabnya krn mengingat surga dan neraka maka itu tidak membatalkan shalat. Karena itu menunjukkan bertambahnya khusyu’, dan khusyu’ adalah target dari shalat.
وحاصل مذهب المالكية في هذا: أن البكاء في الصلاة إما أن يكون بصوت، وإما أن يكون بلا صوت، فإن كان البكاء بلا صوت فإنه لا يبطل الصلاة، سواء أكان بغير اختيار، بأن غلبه البكاء تخشعا أو لمصيبة، أم كان اختياريا ما لم يكثر ذلك في الاختياري، وأما إذا كان البكاء بصوت، فإن كان اختياريا فإنه يبطل الصلاة، سواء كان لمصيبة أم لتخشع، وإن كان بغير اختياره، بأن غلبه البكاء تخشعا لم يبطل، وإن كثر، وإن غلبه البكاء بغير تخشع أبطل، هذا وقد ذكر الدسوقي أن البكاء بصوت، إن كان لمصيبة أو لوجع من غير غلبة أو لخشوع فهو حينئذ كالكلام، يفرق بين عمده وسهوه، أي فالعمد مبطل مطلقاً، قل أو كثر، والسهو يبطل إن كان كثيراً، ويسجد له إن قل
Sedangkan kesimpulan dari madzhab Malikiyah, bahwa tangisan itu ada tangisan yang bersuara dan tidak. Ada pun tangisan yang tidak bersuara maka itu tidak membatalkan shalat. Baik tangisan yg dia tidak bisa hindari bisa karena dia dikalahkan oleh khusyu atau musibah, atau tangisan yg dia mampu kendalikan selama hal itu terjadinya tidak banyak.
Ada pun tangisan dengan suara, padahal dia bisa kendalikan, maka itu membatalkan shalat, baik karena musibah atau karena khusyu. Tapi jika dia tidak bisa kendalikan karena dikuasai oleh khusyu maka itu tidak batal, walaupun banyak. Jika dia dikuasai tangisan bukan karena khusyu maka itu membatalkan shalat.
Hal ini telah disebutkan oleh Ad Dasuqi bahwa tangisan yang bersuara jika karena musibah, rasa sakit yang tidak sampai mengalahkannya, atau karena khusyu, maka itu sama seperti “perkataan”. Jika sengaja maka itu batal shalat baik sedikit atau banyak, jika karena lupa (lalai) maka itu batal jika banyak, dan tidak batal jika sedikit tapi hendaknya dia sujud (sahwi).
وأما عند الشافعية، فإن البكاء في الصلاة على الوجه الأصح إن ظهر به حرفان فإنه يبطل الصلاة، لوجود ما ينافيها، حتى وإن كان البكاء من خوف الآخرة، وعلى مقابل الأصح: لا يبطل لأنه لا يسمى كلا
ما في اللغة، ولا يفهم منه شيء، فكان أشبه بالصوت المجرد
Sedangkan bagi Syafi’iyah menurut pendapat yang paling shahih, tangisan dalam shalat jika sampai jelas keluar dua huruf maka itu membatalkan shalat, karena adanya hal yang menafikan hal itu, walau pun tangisan karena mengingat akhirat. Ada pun pendapat kebalikan dari yang shahih itu (dikalangan Syafi’iyah), bahwa itu tidak membatalkan shalat sebab secara bahasa itu bukan “perkataan”, dan tidak ada yang bisa dipahami darinya, itu hanyalah semisal suara saja.
وأما الحنابلة فإنهم يرون أنه إن بان حرفان من بكاء، أو تأوه خشية، أو أنين في الصلاة لم تبطل، لأنه يجري مجرى الذكر، وقيل: إن غلبه وإلا بطلت، كما لو لم يكن خشية، لأنه يقع على الهجاء، ويدل بنفسه على المعنى كالكلام، قال أحمد في الأنين: إذا كان غالبا أكرهه، أي من وجع، وإن استدعى البكاء فيها كره كالضحك وإلآ فلا
Ada pun menurut Hanabilah (Hambaliyah), jika jelas dua huruf saat menangis, mengerang karena rasa takut, atau merintih dalam shalat, itu tidak membatalkan shalat. Karena hal itu terjadi dalam proses dzikir. Dikatakan: Hal itu jika dia dikalahkan olehnya, tapi jika tidak, maka batal shalatnya. Sebagaimana seandainya dia tidak ada perasaan takut, karena itu hanyalah sendirian saja, maka itu bagi dirinya bermakna seperti kalam (perkataan).
Imam Ahmad berkata tentang merintih, “Jika itu terjadi secara dominan maka aku membencinya,” yaitu yg disebabkan rasa sakit, dan jika itu memancing tangisan maka itu makruh sebagaimana tertawa.
(Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah)
Ada pun Hambaliyah zaman ini, seperti Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin Rahimahullah, dia berkata:
أن البكاء في الصلاة إذا كان من خشية الله عز وجل والخوف منه وتذكر الإنسان أمور الآخرة وما يمر به في القرآن الكريم من آيات الوعد والوعيد فإنه لا يبطل الصلاة وأما إذا كان البكاء لتذكر مصيبة نزلت به أو ما أشبه ذلك فإنه يبطل الصلاة لأنه حدث لأمر خارج عن الصلاة وعليه فيحاول علاج نفسه من هذا البكاء حتى لا يتعرض لبطلان صلاته
Sesungguhnya menangis dalam shalat jika disebabkan rasa takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan takut dari azabNya, dan manusia mengingat urusan-urusan akhirat, dan apa-apa yang Al Quran ceritakan tentang akhirat, berupa ayat janji dan ancaman, sesungguhnya itu tidak membatalkan shalat. Sedangkan, jika menangis karena mengingat musibah menimpanya, atau yang semisal itu, sesungguhnya itu membatalkan shalat karena dia mensisipkan hal di luar shalat. Wajib atasnya untuk merubah dirinya dari tangisan seperti ini sehingga shalatnya tidak menjadi batal.
(Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Fatawa Nur ‘Alad Dar, Bab Ash Shalah, No. 378)
2. Menoleh Jika Ada Keperluan
Hal ini dibolehkan jika ada keperluan yang dibenarkan.
Sahl bin Hanzhalah Radhiallahu ‘Anhu, berkata:
فجعل رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم يصلي وهو يلتفت إلى الشِّعب
“Maka Rasulullah menoleh pandangan dalam shalatnya menuju celah bukit.”
(HR. Abu Daud 2501, Al Hazimi mengatakan: hasan. Lihat Tahqiq Musnad Ahmad, 4/289)
Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يلتفت في صلاته يمينا وشمالا ولا يلوي عنقه خلف ظهره
“Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallammenoleh dalam shalatnya ke kanan dan kiri dan tidak sampai memutarkan lehernya kebelakang.”
(HR. At Tirmidzi no. 587, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 864, katanya shahih sesuai syarat Bukhari, dan disepakati oleh Adz Dzahabi. Dishahihkan pula oleh Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaimah, dll)
Tetapi jika tidak keperluan, maka itu makruh.
Dari Al Harts Al Asy’ari, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
فإذا صليتم فلا تلتفتوا فإن العبد إذا لم يلتفت استقبله جل وعلا بوجهه
“Jika kalian shalat janganlah menoleh, sesungguhnya Allah Jalla wa ‘Ala akan memandang hambaNya selama dia tidak menoleh.”
(HR. Ahmad No. 17170, At Tirmidzi No. 2863, 2864, katanya: hasan shahih. Al Hakim dalam Al Mustadrak, 1/118, 421, juga 11/17, katanya:shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim, dan Adz Dzahabi menyepakatinya)
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, katanya:
سألت رسول اللّه صلى الله عليه وسلم عن التفات الرجل في الصلاة، فقال: “إنما هو اختلاسٌ يختلسه الشيطان من صلاة العبد”.
“Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang seseorang yang menoleh dalam shalat, beliau menjawab: “Itu adalah curian syetan terhadap shalat seorang hamba.”
(HR. Bukhari No. 751,3291)
Tertulis dalam Al Mausu’ah:
وَالْكَرَاهَةُ مُقَيَّدَةٌ بِعَدَمِ الْحَاجَةِ أَوِ الْعُذْرِ ، أَمَّا إِنْ كَانَتْ هُنَاكَ حَاجَةٌ : كَخَوْفٍ عَلَى نَفْسِهِ أَوْ مَالِهِ لَمْ يُكْرَهْ ” انتهى
Makruhnya menoleh itu terikat jika tidak ada keperluan atau udzur, ada pun jika ada keperluan seperti takut sesuatu menimpa jiwanya, atau hartanya, maka itu tidak makruh.
(Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 27/109)
Ada pun jika menoleh dibarengi berputarnya leher dan/atau punggung sehingga meninggalkan arah kiblat baik ke kiri, kanan, atau belakang, maka ini batal shalatnya.
3. Membunuh hewan yang membahayakan atau mengganggu saat shalat
Membunuh Ular, Kalajengking Kumbang, dan binatang membahayakan lainnya yang mengganggu shalat adalah dibolehkan.
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:
قتل الحية والعقرب والزنابير ونحو ذلك من كل ما يضر وإن أدى قتلها إلى عمل كثير
“Membunuh ular, kalajengking kumbang dan yang semisalnya yang bisa mengganggu shalat, walau pun dnegan gerakan yang banyak untuk membunuhnya.”
(Fiqhus Sunnah, 1/261)
Dalilnya, dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa NabiShallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersbada:
(اقتلوا الاسودين في الصلاة: الحية والعقرب ) رواه أحمد وأصحاب السنن. الحديث حسن صحيح
“Bunuhlah oleh kalian dua binatang hitam dalam shalat: ular dan kala jengking.”
(HR. Ahmad No. 7379, Ibnu Majah No. 1245, Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: isnadnya shahih. Lihat Ta’liq Musnad Ahmad No. 7379)
Demikian. Wallahu A’lam
4. Berjalan Sedikit Karena Ada Keperluan
Dalilnya:
عن عائشة قالت: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي في البيت والباب عليه مغلق فجئت فاستفتحت فمشى ففتح لي ثم رجع الى مصلاه. ووصفت أن الباب في القبلة. رواه أحمد وأبو داود والنسائي والترمذي وحسنه
Dari ‘Aisyah, dia berkata: “Nabi ﷺ shalat di rumah dan pintu di depannya tertutup, ketika saya datang saya minta dibukakan pintu. Maka beliau berjalan dan membukakan pintu kemudian kembali shalat.” ‘Aisyah mengatakan bahwa pintu tersebut ada di arah kiblat.
(HR. Ahmad No. 24027, Abu Daud No. 922, An Nasa’i, At Tirmidzi No. 601, dia menghasankannya, Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: hasan. Ta’liq Musnad Ahmad No. 24027)
Tapi pembolehan ini hanya berlaku jika berjalannya masih kearah kiblat baik depan, kanan, dan kiri, tetapi tidak berlaku ke arah membelakangi kiblat. Semua ahli fiqih sepakat berjalan dengan jumlah langkah yang banyak dan beturut turut dalam shalat fardhu adalah membatalkan shalat.
Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah menjelaskan:
فدل على أن مثل هذا العمل لا بأس به في الصلاة؛ لأن رسول الله صلى الله عليه وسلم فعله وهو القدوة والأسوة صلوات الله وسلامه وبركاته عليه
Maka, hadits ini menunjukkan bahwasanya hal yang semisal perbuatan ini adalah tidak apa-apa dilakukan saat shalat, karena Rasulullah ﷺ melakukannya, dan dia adalah teladan dan contoh -semoga shalawat, salam, dan keberkahanNya tercurah kepadanya.
(Syarh Sunan Abi Daud, 117)
5. Menggendong Anak Kecil
Dalilnya:
عَنْ عَمْرِو بْنِ سُلَيْمٍ الزُّرَقِيِّ أَنَّهُ: سَمِعَ أَبَا قَتَادَةَ يَقُولُ: ” إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى وأُمَامَةُ ابْنَةُ زَيْنَبَ ابْنَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَهِيَ ابْنَةُ أَبِي الْعَاصِ بْنِ الرَّبِيعِ بْنِ عَبْدِ الْعُزَّى عَلَى رَقَبَتِهِ، فَإِذَا رَكَعَ وَضَعَهَا، وَإِذَا قَامَ مِنْ سُجُودِهِ أَخَذَهَا فَأَعَادَهَا عَلَى رَقَبَتِهِ “
Dari Amru bin Sulaim Az Zuraqiy, bahwa dia mendengar Abu Qatadah berkata: bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedang shalat sedangkan Umamah –anak puteri dari Zainab puteri Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan juga puteri dari Abu Al ‘Ash bin Ar Rabi’ bin Abdul ‘Uzza – berada di pundaknya, jika Beliau ruku anak itu diletakkan, dan jika bangun dari sujud diambil lagi dan diletakkan di atas pundaknya.
(HR. Ahmad No. 22589, An Nasa’i No. 827, Syaikh Syu’aib Al Arnauth juga menshahihkannya dalamTa’liq Musnad Ahmad No. 22589, dan Amru bin Sulaim mengatakan bahwa ini terjadi ketika shalat subuh)
Apa Hikmahnya?
قال الفاكهاني: وكأن السر في حمله صلى الله عليه وسلم أمامة في الصلاة دفعا لما كانت العرب تالفه من كراهة البنات بالفعل قد يكون أقوى من القول
“Berkata Al Fakihani: “Rahasia dari hal ini adalah sebagai peringatan (sanggahan) bagi bangsa Arab yang biasanya kurang menyukai anak perempuan. Maka nabi memberikan pelajaran halus kepada mereka supaya kebiasaan itu ditinggalkan, sampai-sampai beliau mencontohkan bagaimana mencintai anak perempuan, sampai-sampai dilakukan di shalatnya. Dan ini lebih kuat pengaruhnya dibanding ucapan.” (Fiqhus Sunah, 1/262)
Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah:
هَذَا يَدُلّ لِمَذْهَبِ الشَّافِعِيّ – رَحِمَهُ اللَّه تَعَالَى – وَمَنْ وَافَقَهُ أَنَّهُ يَجُوز حَمْل الصَّبِيّ وَالصَّبِيَّة وَغَيْرهمَا مِنْ الْحَيَوَان الطَّاهِر فِي صَلَاة الْفَرْض وَصَلَاة النَّفْل ، وَيَجُوز ذَلِكَ لِلْإِمَامِ وَالْمَأْمُوم ، وَالْمُنْفَرِد ، وَحَمَلَهُ أَصْحَاب مَالِك – رَضِيَ اللَّه عَنْهُ – عَلَى النَّافِلَة ، وَمَنَعُوا جَوَاز ذَلِكَ فِي الْفَرِيضَة ، وَهَذَا التَّأْوِيل فَاسِد ، لِأَنَّ قَوْله : يَؤُمّ النَّاس صَرِيح أَوْ كَالصَّرِيحِ فِي أَنَّهُ كَانَ فِي الْفَرِيضَة ، وَادَّعَى بَعْض الْمَالِكِيَّة أَنَّهُ مَنْسُوخ ، وَبَعْضهمْ أَنَّهُ خَاصّ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَبَعْضهمْ أَنَّهُ كَانَ لِضَرُورَةٍ ، وَكُلّ هَذِهِ الدَّعَاوِي بَاطِلَة وَمَرْدُودَة ، فَإِنَّهُ لَا دَلِيل عَلَيْهَا وَلَا ضَرُورَة إِلَيْهَا ، بَلْ الْحَدِيث صَحِيح صَرِيح فِي جَوَاز ذَلِكَ ، وَلَيْسَ فِيهِ مَا يُخَالِف قَوَاعِد الشَّرْع ؛ لِأَنَّ الْآدَمِيَّ طَاهِر ، وَمَا فِي جَوْفه مِنْ النَّجَاسَة مَعْفُوّ عَنْهُ لِكَوْنِهِ فِي مَعِدَته ، وَثِيَاب الْأَطْفَال وَأَجْسَادهمْ عَلَى الطَّهَارَة ، وَدَلَائِل الشَّرْع مُتَظَاهِرَة عَلَى هَذَا . وَالْأَفْعَال فِي الصَّلَاة لَا تُبْطِلهَا إِذَا قَلَّتْ أَوْ تَفَرَّقَتْ ، وَفَعَلَ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – هَذَا – بَيَانًا لِلْجَوَازِ ، وَتَنْبِيهًا بِهِ عَلَى هَذِهِ الْقَوَاعِد الَّتِي ذَكَرْتهَا ، وَهَذَا يَرُدُّ مَا اِدَّعَاهُ الْإِمَام أَبُو سُلَيْمَان الْخَطَّابِيُّ أَنَّ هَذَا الْفِعْل يُشْبِه أَنْ يَكُون مِنْ غَيْر تَعَمُّد ، فَحَمَلَهَا فِي الصَّلَاة لِكَوْنِهَا كَانَتْ تَتَعَلَّق بِهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَلَمْ يَدْفَعهَا فَإِذَا قَامَ بَقِيَتْ مَعَهُ ، قَالَ : وَلَا يُتَوَهَّم أَنَّهُ حَمَلَهَا وَوَضَعَهَا مَرَّة بَعْد أُخْرَى عَمْدًا ؛ لِأَنَّهُ عَمَل كَثِير وَيَشْغَل الْقَلْب ، وَإِذَا كَانَتْ الْخَمِيصَة شَغَلَتْهُ فَكَيْف لَا يَشْغَلهُ هَذَا ؟ هَذَا كَلَام الْخَطَّابِيّ – رَحِمَهُ اللَّه تَعَالَى – وَهُوَ بَاطِل ، وَدَعْوَى مُجَرَّدَة ، وَمِمَّا يَرُدّهَا قَوْله فِي صَحِيح مُسْلِم فَإِذَا قَامَ حَمَلَهَا .
وَقَوْله : ( فَإِذَا رَفَعَ مِنْ السُّجُود أَعَادَهَا ) ، وَقَوْله فِي رِوَايَة مُسْلِم : ( خَرَجَ عَلَيْنَا حَامِلًا أُمَامَةَ فَصَلَّى ) فَذَكَرَ الْحَدِيث . وَأَمَّا قَضِيَّة الْخَمِيصَة فَلِأَنَّهَا تَشْغَل الْقَلْب بِلَا فَائِدَة ، وَحَمْل أُمَامَةَ لَا نُسَلِّم أَنَّهُ يَشْغَل الْقَلْب ، وَإِنْ شَغَلَهُ فَيَتَرَتَّب عَلَيْهِ فَوَائِد ، وَبَيَان قَوَاعِد مِمَّا ذَكَرْنَا
هُ وَغَيْره ، فَأُحِلّ ذَلِكَ الشَّغْل لِهَذِهِ الْفَوَائِد ، بِخِلَافِ الْخَمِيصَة . فَالصَّوَاب الَّذِي لَا مَعْدِل عَنْهُ : أَنَّ الْحَدِيث كَانَ لِبَيَانِ الْجَوَاز وَالتَّنْبِيه عَلَى هَذِهِ الْفَوَائِد ، فَهُوَ جَائِز لَنَا ، وَشَرْع مُسْتَمِرّ لِلْمُسْلِمِينَ إِلَى يَوْم الدِّين . وَاللَّهُ أَعْلَم
“Hadits ini menjadi dalil bagi madzhab Syafi’i dan yang sepakat dengannya, bahwa bolehnya shalat sambil menggendong anak kecil, laki atau perempuan, begitu pula yang lainnya seperti hewan yang suci, baik shalat fardhu atau sunah, baik jadi imam atau makmum.
Kalangan Malikiyah mengatakan bahwa hal itu hanya untuk shalat sunah, tidak dalam shalat fardhu. Pendapat ini tidak bisa diterima, sebab sangat jelas disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memimpin orang banyak untuk menjadi imam, peristiwa ini adalah pada shalat fardhu, apalagi jelas disebutkan itu terjadi pada shalat shubuh.
Sebagian kalangan Malikiyah menganggap hadits ini mansukh (dihapus hukumnya) dan sebagian lagi mengatakan ini adalah kekhususan bagi Nabi saja, dan sebagian lain mengatakan bahwa Beliau melakukannya karena darurat. Semua pendapat ini tidak dapat diterima dan mesti ditolak, sebab tidak keterangan adanya nasakh (penghapusan), khusus bai Nabi atau karena darurat, tetapi justru tegas membolehkannya dan sama sekali tidak menyalahi aturan syara’. Bukankah Anak Adam atau manusia itu suci, dan apa yang dalam rongga perutnya dimaafkan karena berada dalam perut besar, begiru pula mengenai pakaiannya. Dalil-dalil syara’ menguatkan hal ini, karena perbuatan-perbuatan yang dilakukan ketika itu hanya sedikit atau terputus-putus. Maka, perbuatan NabiShallallahu ‘Alaihi wa Sallam itu menjadi keterangan tentang bolehnya berdasarkan norma-norma tersebut. Dalil ini juga merupakan koreksi atas apa yang dikatakan oleh Imam Al Khathabi bahwa seakan-akan itu terjadi tanpa sengaja, karena anak itu bergelantungan padanya, jadi bukan diangkat oleh Nabi. Namun, bagaimana dengan keterangan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallamketika hendak berdiri yang kedua kalinya, anak itu diambilnya pula. Bukankah ini perbuatan sengaja dari Beliau? Apalagi terdapat keterangan dalam Shahih Muslim: “Jika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallambangkit dari sujud, maka dinaikkannya anak itu di atas pundaknya.” Kemudian keterangan Al Khathabi bahwa memikul anak itu mengganggu kekhusyu’an sebagaimana menggunakan sajadah yang bergambar, dikemukakan jawaban bahwa memang hal itu mengganggu dan tidak ada manfaat sama sekali. Beda halnya dengan menggendong anak yang selain mengandung manfaat, juga sengaja dilakukan oleh Nabi untuk menyatakan kebolehannya. Dengan demikian, jelaslah bahwa yang benar dan tidak dapat disangkal lagi, hadits itu menyatakan hukum boleh, yang tetap berlaku bagi kaum muslimin sampai hari kemudian.” Wallahu A’lam
(Imam An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2/307. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Bagaimana jika anak itu memakai pampers?
Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid mengatakan:
من شروط صحة الصلاة : اجتناب النجاسة في البدن والثوب والمكان ، فمن صلى وعلى ثوبه أو بدنه نجاسة أو حمل طفلاً متنجساً أو حمل قارورة فيها نجاسة…، بطلت صلاته عند جمهور العلماء ، ولا يبطل وضوؤه
Di antara syarat sahnya shalat adalah menjauh dari najis baik pada badan, pakaian, dan tempat.
Maka, brg siapa yang shalat namun di pakaiannya atau badannya ada najis, atau dia menggendong anak yang ada najisnya, atau membawa botol kecil yg ada najisnya, maka shalatnya BATAL menurut mayoritas ulama, tapi tidak batal wudhunya.
(Al Islam Su’aal wa Jawab no. 136524)
Bagaimana jika LUPA atau TIDAK TAHU kalau di Pampersnya ada najisnya?
Syaikh ‘Utsaimin Rahimahullah menjawab:
إذن اجتناب النجاسة في البدن ، والثوب ، والبقعة شرط لصحة الصلاة ، لكن إذا لم يتجنب الإنسان النجاسة جاهلاً ، أو ناسياً فإن صلاته صحيحة ، سواء علم بها قبل الصلاة ثم نسي أن يغلسها ، أو لم يعلم بها إلا بعد الصلاة
Jadi, menjauh dr najis dari badan, pakaian, dan tempat, adalah syarat sahnya shalat. Tapi jika manusia tidak menjauhinya karena tidak tahu atau lupa, shalatnya tetap SAH, baik dia sebenarnya sudah tahu sebelum shalat tapi pas shalat dia lupa membersihkannya, atau dia baru tahu setelah selesai shalatnya.
(Majmu’ Fatawa, 12/390)
Demikian. Wallahu a’lam
6. Mengucapkan Salam dan Mengajak Berbicara Orang Shalat
Dalilnya:
عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: أَرْسَلَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ مُنْطَلِقٌ إِلَى بَنِي الْمُصْطَلِقِ، فَأَتَيْتُهُ وَهُوَ يُصَلِّي عَلَى بَعِيرِهِ ، فَكَلَّمْتُهُ، فَقَالَ بِيَدِهِ هَكَذَا، ثُمَّ كَلَّمْتُهُ، فَقَالَ بِيَدِهِ هَكَذَا، وَأَنَا أَسْمَعُهُ يَقْرَأُ، وَيُومِئُ بِرَأْسِهِ، فَلَمَّا فَرَغَ قَالَ: ” مَا فَعَلْتَ فِي الَّذِي أَرْسَلْتُكَ، فَإِنَّهُ لَمْ يَمْنَعْنِي إِلَّا أَنِّي كُنْتُ أُصَلِّي
Dari Jabir bin Abdullah katanya: “Saya diperintahkan nabi untuk datang, saat itu beliau hendak pergi ke Bani Musthaliq. Ketika saya datang beliau sedang shalat di atas kendaraannya. Saya pun berbicara kepadanya dan beliau memberi isyarat dengan tangannya seperti ini. Saya berbicara lagi dan beliau memberi isyarat dengan tangannya, sedangkan bacaan shalat beliau terdengar oleh saya sambil beliau menganggukkan kepala. Setelah beliau selesai shalat beliau bertanya: “Bagaimana tugasmu yang saya minta untuk diselesaikan? Sebenarnya tak ada halangan bagi saya membalas ucapanmu itu, hanya saja saya sedang shalat.”
(HR. Muslim No. 540)
Dari Ibnu Umar: “Aku bertanya kepada Bilal:
كيف كان النبي صلى الله عليه وسلم يرد عليهم حين كانوا يسلمون في الصلاة؟ قال: كان يشير بيده.
“Bagaimana Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallammenjawab salam kepada mereka ketika beliau sedang shalat?” Bilal menjawab: “Memberikan isyarat dengan tangannya.”
(HR. Ibnu Majah No. 1017, At Tirmidzi No. 368, katanya: hasan shahih)
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
ويستوي في ذلك الاشارة بالاصبع أو باليد جميعها أو بالايماء بالرأس فكل ذلك وارد عن رسول الله صلى الله عليه وسلم.
“Dalam hal ini sama saja, baik isyarat dengan jari, tangan atau anggukkan kepala, semua ini adalah boleh karena memiliki dasar dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (Fiqhus Sunah, 1/264)
Syaikh Abul ‘Ala Muhammad bin Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarkafuri Rahimahullah mengatakan:
فَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ أَشَارَ مَرَّةً بِأُصْبُعِهِ وَمَرَّةً بِيَدِهِ
“Maka, dibolehkan memberikan isyarat, sekali dengan jari dan sekali dengan tangannya.” (Tuhfah Al Ahwadzi, 2/365. Cet. 2, Al Maktabah As Salafiyah, Madinah)
Kebolehan hal ini bukan berarti kita seenaknya saja mengajak ngobrol orang shalat sebab hal itu menganggunya. Ini terjadi jika memang sulit dihindari. Misal, seorg suami ingin berangkat lalu pamit kepada istri ternyata istri sdg shalat, maka tdk apa-apa dia pamit dgn kata-kata, “Saya berangkat”, atau semisalnya.
7. Bertasbih dan bertepuk Tangan Untuk Meralat Imam
Dalilnya:
عن النبي صلى الله عليه وسلم: مَنْ نَابَهُ شَيْءٌ فِي صَلَاتِهِ فَلْيُسَبِّحْ فَإِنَّهُ إِذَا سَبَّحَ الْتُفِتَ إِلَيْهِ وَإِنَّمَا التَّصْفِيحُ لِلنِّسَاءِ
Dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Barangsiapa yang terganggu dalam shalatnya oleh suatu hal maka bertasbihlah, sesungguhnya jika dia bertasbih hendaknya menengok kepadanya, dan bertepuk tangan hanyalah untuk kaum wanita.” (HR. Bukhari No. 652, Muslim No. 421)
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
يجوز التسبيح للرجال والتصفيق للنساء إذا عرض أمر من الامور، كتنبيه الامام إذا أخطأ وكالاذن للداخل أو الارشاد للاعمى أو نحو ذلك
“Dibolehkan bagi laki-laki bertasbih dan bertepuk tangan bagi wanita, jika ada hal yang membuatnya tidak nyaman seperti: mengingatkan imam ketika berbuat kesalahan, memberi izin kepada orang yang akan masuk, atau memandu orang buta atau yang semisalnya.” (Fiqhus Sunnah,1/264)
8. Meralat Bacaan Imam Yang Salah atau Lupa
Dalilnya:
عن ابن عمر أن النبي صلى الله عليه وسلم صلى صلاة فقرأ فيها فالتبس عليه فلما فرغ قال لابي: (أشهدت معنا؟) قال: نعم. قال: (فما منعك أن تفتح علي؟) رواه أبو داود وغيره ورجاله ثقات
Dari Ibnu Umar bahwa Nabi shalat, lalu membaca suatu ayat, tiba-tiba beliau lupa atau ragu dalam bacaannya. Setelah selesai dia bertanya kepada ayahku (Umar bin Al Khathab): “apakah engkau shalat bersamaku?” Umar menjawab: “Ya”. Nabi bersabda: “Apa yang menghalangimu untuk mengingatkanku?”
(HR. Abu Daud No. 907, Ibnu Hibban dalam ShahihnyaNo. 2242. Syaikh Al Albani menghasankannya. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan Abi DaudNo. 907)
Berkata Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al BadrHafizhahullah:
فهذا يدلنا على مشروعية الفتح على الإمام إذا حصل منه خطأ
“Ini menunjukkan bahwa disyariatkan untuk memberitahukan kepada imam jika didapatkan padanya ada kesalahan.” (Syarh Sunan Abi Daud, 115. Al Misykat
9. Ingat Dengan Sesuatu Hal Yang Tidak Termasuk Amalan Shalat
Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu berkata:
إِنِّي لَأُجَهِّزُ جَيْشِي وَأَنَا فِي الصَّلَاةِ
“Sesungguhnya saya mempersiapkan pasukan saya, pada saat itu saya sedang shalat.” (Riwayat Bukhari)
Tentang ucapan Umar Radhiallahu ‘Anhu ini, Imam Bukhari membuat judul: Bab Yufkiru Ar Rajulu Asy Syai’a fish shalah
Dari ‘Uqbah bin Al Harits Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعَصْرَ فَلَمَّا سَلَّمَ قَامَ سَرِيعًا دَخَلَ عَلَى بَعْضِ نِسَائِهِ ثُمَّ خَرَجَ وَرَأَى مَا فِي وُجُوهِ الْقَوْمِ مِنْ تَعَجُّبِهِمْ لِسُرْعَتِهِ فَقَالَ ذَكَرْتُ وَأَنَا فِي الصَّلَاةِ تِبْرًا عِنْدَنَا فَكَرِهْتُ أَنْ يُمْسِيَ أَوْ يَبِيتَ عِنْدَنَا فَأَمَرْتُ بِقِسْمَتِهِ
“Aku shalat ashar bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ketika Beliau salam, beliau berdiri cepat-cepat lalu masuk menuju sebagian istrinya, kemudian Beliau keluar dan memandang kepada wajah kaum yang nampak terheran-heran lantaran ketergesa-gesaannya. Beliau bersabda: “Aku teringat biji emas yang ada pada kami ketika sedang shalat, saya tidak suka mengerjakannya sore atau kemalaman, maka saya perintahkan agar emas itu dibagi-bagi.” (HR. Bukhari No. 1221)
Walau hal ini dibolehkan, namun tetaplah dihindari demi kebagusan kualitas shalat. Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata:
ومع أن الصلاة في هذه الحالة صحيحة مجزئة فإنه ينبغي للمصلي أن يقبل بقلبه على ربه ويصرف عنه الشواغل بالتفكير في معنى الايات والتفهم لحكمة كل عمل من أعمال الصلاة فإنه لا يكتب للمرء من صلاته إلا ما عقل منها.
“Meskipun shalatnya tetap sah dan mencukupi, tetapi seharusnya orang yang shalat itu menghadapkan hatinya kepada Allah dan melenyapkan segala godaan dengan memikirkan ayat-ayat dan memahami hikmah setiap perbuata shalat, karena yang dicatat dari perbuatan itu hanyalah apa-apa yang keluar dari kesadaran.” (Fiqhus Sunnah, 1/267)
Nabi Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إنّ الرّجُلَ لَيَنْصَرِفُ وَمَا كُتِبَ لَهُ إلاّ عُشْرُ صلاتِهِ تُسْعُها ثُمْنُهَا سُبْعُهَا سُدُسُهَا خُمُسُهَا رُبُعُهَا ثُلُثُهَا نِصْفُهَا
“Sesungguhnya ada orang yang selesai shalatnya tetapi tidak mendapatkan melainkan hanya sepersepuluh, sepersembilan, seperdelapan, sepertujuh, seperenam, seperlima seperempat, sepertiga, dan setengah dari shalatnya.” (HR. Abu Daud No. 211. Hadits hasan)
Aktifitas Yang Boleh Terjadi Dalam Shalat (Bag. 10)
10. Memuji Allah Ketika Bersin Atas Suatu Ni’mat
Dalilnya, Dari Rifa’ah bin Rafi’, dia berkata;
صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَطَسْتُ فَقُلْتُ الْحَمْدُ لِلَّهِ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ مُبَارَكًا عَلَيْهِ كَمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَى فَلَمَّا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْصَرَفَ فَقَالَ مَنْ الْمُتَكَلِّمُ فِي الصَّلَاةِ فَلَمْ يَتَكَلَّمْ أَحَدٌ ثُمَّ قَالَهَا الثَّانِيَةَ مَنْ الْمُتَكَلِّمُ فِي الصَّلَاةِ فَلَمْ يَتَكَلَّمْ أَحَدٌ ثُمَّ قَالَهَا الثَّالِثَةَ مَنْ الْمُتَكَلِّمُ فِي الصَّلَاةِ فَقَالَ رِفَاعَةُ بْنُ رَافِعٍ ابْنُ عَفْرَاءَ أَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ كَيْفَ قُلْتَ قَالَ قُلْتُ الْحَمْدُ لِلَّهِ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ مُبَارَكًا عَلَيْهِ كَمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَى فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ ابْتَدَرَهَا بِضْعَةٌ وَثَلَاثُونَ مَلَكًا أَيُّهُمْ يَصْعَدُ بِهَا
“Aku shalat dibelakang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu aku bersin, dan aku berkata:Alhamdulillah hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi mubarakan ‘alaih kama yuhibbu rabbuna wa yardha (segala puji bagi Allah, dengan pujian yang banyak lagi baik dan keberkahan di dalamnya, dan keberkahan atasnya, sebagaimana yang disukai Tuhan kami dan diridhaiNya). Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam selesai shalat, dia bertanya: “Siapa yang mengatakan tadi dalam shalat?”. Tidak ada satu pun yang menjawab. Beliau bertanya lagi kedua kalinya: “Siapa yang mengatakan tadi dalam shalat?”. Tidak ada satu pun yang menjawab. Beliau bertanya lagi ketiga kalinya: “siapa yang yang mengatakan tadi dalam shalat?” maka, berkatalah Rifa’ah bin Rafi’ bin ‘Afra: “Saya wahai Rasulullah!” Beliau bersabda: “Bagaimana engkau mengucapkannya?” dia menjawab: “Aku mengucapkan: ” Alhamdulillah hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi mubarakan ‘alaih kama yuhibbu rabbuna wa yardha.” Maka, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku ada di tanganNya, sebanyak tiga puluh Malaikat saling merebutkan siapa di antara mereka yang membawanya naik (kelangit).” (HR. At Tirmidzi No. 402, katanya: hasan. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Misykah Al Mashabih No. 992)
Riwayat ini menunjukkan bolehnya bersin dalam shalat, lalu dia mengucapkan bacaan seperti di atas secara jahr (keras), dan hal ini terjadi di depan RasulullahShallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau tidak mengingkari bahkan justru memujinya. At Tirmidzi menambahkan bahwa sebagian ulama menganjurkan hal ini pada shalattathawwu’ (sunah). Pernyataan ini lemah, sebab hal ini terjadi pada shalat wajib, yakni maghrib, sebagaimana diriwayatkan oleh Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al KabirNo. 4044.
Al Hafizh Ibnu Hajar juga menyebutkan riwayat dari Bisyr bin Umar Az Zuhrani, dari Rifa’ah bin Yahya bahwa Shalat tersebut adalah maghrib. (Fathul Bari, 2/286)
Riwayat ini sekaligus menjadi bantahan bagi pihak yang mengatakan bahwa kebolehannya hanya pada shalat sunah.
Ada pun, bagi yang mendengarnya, maka dianjurkan membaca Yarhamukallah, tetapi ini hanya berlaku di luar shalat. Imam Ash Shan’ani menyebutkan, bahwa kalangan zhahiriyah dan Ibnul Arabi berpendapatwajibnya tasymit bagi setiap orang yang mendengar ucapan Alhamdulillah. **(Imam Amir Ash Shan’ani, Subulus Salam, 7/12)**
Ada pun di dalam shalat, tidaklah menjawabnya, sebab Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun tidak menjawab bersin Rifa’ah bin Rafi’ setelah dia membacaAlhamdulillah. Bahkan Beliau melarang itu, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam haditsnya yang cukup panjang, dari Muawiyah bin Al Hakam As Sulami. Ketika beliau shalat bersama Rasulullah, ada seorang yang bersin dan mengatakan Alhamdulillah, lalu Muawiyah menjawab: Yarhamukallah. Ringkasnya, setelah shalat Nabi menasihatinya:
إِنَّ هَذِهِ الصَّلَاةَ لَا يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ النَّاسِ إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآن
Sesungguhnya pada shalat ini, tidaklah ada kebaikan di dalamnya bagi ucapan manusia, sesungguhnya dia adalah tasbih, takbir, dan membaca Al Quran.”
(HR. Muslim No. 537, juga Abu Daud No. 930, dengan lafaz: Sesungguhnya dalam shalat ini tidak halal suatu apapun dari ucapan manusia …)
Mayoritas ulama menyatakan hal itu terlarang, dan membatalkan shalat, sebab tidak dicontohkan oleh Nabi, dan termasuk kalamun nas (ucapan manusia) yang masuk ke dalam shalat. Imam An Nawawi mengatakan, hadits di atas menunjukkan haramnya kalamun nas(ucapan manusia) di dalam shalat, baik karena ada kebutuhan atau tidak, ucapan yang bermaslahat bagi shalat atau tidak. Jika ada kebutuhan untuk memberikan peringatakan maka bertasbih bagi laki-laki dan menepuk tangan bagi wanita, inilah madzhab kami, Malik, Abu Hanifah, dan mayoritas salaf dan khalaf. Namun dimaafkan bagi orang yang lupa dan bodoh (belum tahu), sebagaimana yang dilakukan oleh Muawiyah bin Al Hakam, beliau tidak diperintah untuk mengulang shalatnya, tetapi Rasulullah memberikan pengajaran untuknya.
(Imam An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2/298)
11. Shalat sambil melihat mushaf
Shalat dengan membaca mushaf adalah boleh memurut mayoritas ulama, baik Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hambal, sdgkan Imam Abu Hanifah yang menyatakan batal. Umumnya, pembolehan ini adalah pada shalat sunah, kecuali bagi yang belum hapal Al Fatihah maka boleh juga pada shalat wajib.
Berikut keterangan dari Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
فإن ذكوان مولى عائشة كان يؤمها في رمضان من المصحف، رواه مالك. وهذا مذهب الشافعية
“Dzakwan, hamba sahayanya ‘Aisyah, kalau jadi imam bagi Aisyah di waktu shalat dalam bulan Ramadhan biasa membaca ayat dari mushhaf (Diriwayatkan oleh Malik). (Fiqhus Sunnah, 1/267)
Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:
لَوْ قَرَأَ الْقُرْآنَ مِنْ الْمُصْحَفِ لَمْ تَبْطُلْ صَلَاتُهُ سَوَاءٌ كَانَ يَحْفَظُهُ أَمْ لَا بَلْ يَجِبُ عَلَيْهِ ذَلِكَ إذَا لَمْ يَحْفَظْ الْفَاتِحَةَ كَمَا سَبَقَ، وَلَوْ قَلَّبَ أَوْرَاقَهُ أَحْيَانًا فِي صَلَاتِهِ لَمْ تَبْطُلْ، وَلَوْ نَظَرَ فِي مَكْتُوبٍ غَيْرِ الْقُرْآنِ وَرَدَّدَ مَا فِيهِ فِي نَفْسِهِ لَمْ تَبْطُلْ صَلَاتُهُ وَإِنْ طَالَ، لَكِنْ يُكْرَهُ، نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي الْإِمْلَاءِ وَأَطْبَقَ عَلَيْهِ الْأَصْحَابُ
“Seandainya membaca Al Quran melalui mushaf, tidaklah membatalkan shalatnya. Sama saja, apakah dia sudah hafal Al Quran atau belum, bahkan menjadi wajib melihat mushaf jika dia belum hafal Al Fatihah sebagaimana penjelasan lalu. Walau kadang membolak-balikan halamannya dalam shalat, maka itu tidak membatalkan shalatnya. Juga bagi seorang yang melihat catatan lain selain Al Quran dan diulang-ulang isinya dalam hati walau lama tidaklah batal, tetapi makruh. Demikian pemaparan Asy Syafi’i dalam Al Imla’.”
(Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1/20. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Ini juga menjadi pendapat Imam Malik, Imam Muhammad bin Hasan, Imam Abu Yusuf, Imam Ahmad bin Hambal, sedangkan Imam Abu Hanifah mengatakan: batal shalatnya. (Ibid)
Bagaimana dengan shalat wajib?
Untuk shalat wajib, sebagian ulama memakruhkan. Sebab hal itu tidak dibutuhkan, berbeda dgn shalat Sunnah, seperti tarawih yang memang biasanya ingin panjang bacaannya, maka pada shalat Sunnah itu dibolehkan. Tapi, jika memang dibutuhkan maka tidak apa-apa melihat mushaf walau dalam shalat wajib juga. Ada pun bagi Hanafiyah hal itu adalah membatalkan shalat.
Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid _Hafizahullah_ mengatakan:
لا بأس بقراءة القرآن من المصحف في صلاة النفل ، كقيام الليل . أما الفرض فيكره فيه ذلك لعدم الحاجة إليه غالبا ، فإن احتاج فلا بأس بالقراءة من المصحف حينئذٍ
Tidak apa-apa membaca mushaf saat shalat Sunnah, seperti shalat malam. Ada pun shalat wajib, itu dimakruhkan karena umumnya itu tidak dibutuhkan. Tapi, jika memang *diperlukan* maka tidak apa-apa saat itu.
(Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 65924)
Maksud “diperlukan”, misalnya seperti orang yang tidak hapal Al Fatihah, padahal itu rukun shalat, maka tidak apa-apa baginya membuka mushaf baik shalat sunah atau wajib. Bahkan bukan hanya BOLEH, tapi WAJIB membuka mushaf bagi yg belum hapal Al Fatihah, sebab kedudukan Al Fatihah yang sangat vital dalam shalat. Hal ini sudah dijelaskan oleh Imam An Nawawi Rahimahullah sebelumnya.
Sementara itu, Syaikh Abdullah Al Faqih _Hafizahullah_ mengatakan:
فإن للمصلي أن يقرأ من المصحف في صلاة النافلة وكذا المكتوبة، وهذا هو مذهب الشافعية والقول المعتمد في مذهب أحمد. وذهب المالكية إلى الكراهة. ودليل المجيزين ما رواه البيهقي عن -عائشة رضي الله عنها- أنها كان يؤمها غلامها ذكوان من المصحف في رمضان، قال الزهري: كان خيارنا يقرؤون من المصاحف، وذهب الحنفية إلى أن القراءة من المصحف تفسد الصلاة
Sesungguhnya orang yang shalat boleh membaca lewat mushaf baik shalat Sunnah atau wajib, inilah pendapat Syafi’iyah dan pendapat resmi dari madzhab Imam Ahmad. Ada pun Malikiyah, mereka memakruhkannya.
Dalil pihak yang membolehkan adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Al Baihaqi, dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha bahwa Dzakwan menjadi imam baginya pada shalat di bulan Ramadhan dengan membaca mushaf.
Az Zuhriy mengatakan: “Orang-orang terbaik kami mereka membaca mushaf saat shalat.” Sedangkan Hanafiyah mengatakan batalnya shalat sambil membaca mushaf.
(Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 1781)
Untuk keluar dari Khilafiyah lebih baik itu tidak dilakukan pada shalat wajib. Berkata Syaikh Abdullah Al Faqih Hafizhahullah:
الأولى ترك ذلك في الصلاة المكتوبة، خروجاً من الخلاف ومراعاة لسنن الصلاة من النظر إلى موضع السجود وترك الانشغال بالنظر وتقليب الأوراق
Lebih utama adalah hal itu ditinggalkan dalam shalat wajib, dalam rangka keluar dari perbedaan pendapat, dan menjaga sunah-sunnah shalat yaitu melihat tempat sujud, mata tidak disibukkan oleh pandangannya, dan membalik-balikkan kertas mushaf. (Ibid)
Demikian. Wallahu A’lam
✍ Farid Nu’man Hasan