Mencaci Maki Ulama dan Da’i dengan Alasan Al Jarh wat Ta’dil

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

Sebagian orang ada yang punya hobi unik. Membongkar aib, mencela, dan memaki para ulama, da’i, dan muballigh, seakan itu amal shalih tertinggi dan seolah untuk itu mereka dilahirkan. Mereka melakukan legitimasi dengan berdalih bahwa itu termasuk ghibah yang diperbolehkan sebagaimana yang dirinci oleh Imam An Nawawi Rahimahullah dalam Riyadhushshalihin. Padahal para ulama, da’i, dan muballigh yang mereka cela itu tidak memenuhi syarat sedikit pun untuk dighibahi tapi dengan takalluf (maksain) perbuatan ini menjadi halal baginya.

Alasan lain, mereka anggap yang mereka lakukan adalah menilai manusia dengan kaidah dan prinsip al jarh wat ta’dil, yaitu prinsip yang dipakai para imam hadits untuk meneliti kelayakan seorang perawi hadits dalam membawa hadits, berita, dan riwayat. Ketika seorang ulama, da’i, dan muballigh, memiliki kesalahan –dan pastinya setiap manusia punya salah- mereka anggap itu adalah jarh (kritik-cacat) padanya yang membuatnya tidak boleh lagi didengar kajiannya, perkataannya, bukunya, dan apa pun yang berasal darinya, walau pun ada manusia lain memujinya (ta’dil). Mereka anggap, cacat yang ada pada da’i ini lebih dipertimbangkan dibanding pujian manusia baginya, apalagi jika pujian tersebut masih umum sementara pencacatan tentangnya lebih rinci dan banyak. Istilahnya al jarh al mufassar muqaddamun ‘alat ta’dilil ‘aam – kritikan yang terperinci lebih didahulukan dibanding pujian yang masih umum.

Apakah bisa dibenarkan apa yang mereka lakukan ini? Yakni menggunakan kaidah Al Jarh wat Ta’dil untuk menilai para ulama, da’i, dan muballigh zaman ini, yang dengan itu mereka bisa diambil ilmunya atau tidak. Akhirnya, mereka menolak ilmu dari ulama mana pun, hanya mau menerima dari golongannya saja, dengan alasan bahwa yang lainnya tidak selamat dari jarh. Lucunya, pihak yang melakukan jarh (ahlut tajrih) juga di jarh oleh yang lainnya.

Mereka tolak para ulama dan du’at seperti Al Banna, Quthb bersaudara, Sayyid Sabiq, Al Qaradhawi, Salman Al ‘Audah, ‘Aidh Al Qarni, Safar Al Hawali, Mutawalli Asy Sya’rawi, Abdul Hamid Kisyk, Abul A’la Al Maududi, Abul Hasan An Nadwi, Jasim Al Muhalhil, Abdul Fattah Abu Ghuddah, Ahmad Ar Rasyid, Taufiq Al Wa’i, Abdurrahman Abdul Khaliq, Sulaiman Asyqar, dan sebagainya, apalagi sekadar ulama nusantara –NU, Muhammadiyah, Persis, Dll- yang dianggap tidak ada ulama di Indonesia, karena dianggap bukan ulama bagi mereka, dan sudah di jarh oleh masyayikh mereka. Si fulan begini, si fulan begitu, ustadz anu begini, ustadz anu begitu ….., dan seterusnya, hanya mau memuji dan mendengar ulama, da’i, ustadz, muballigh dari kelompoknya saja. Sangat fanatik dengan kelompoknya. Anehnya, sesama masyayikh mereka pun juga saling jarh, saling tabdi’ (membid’ahkan), tafsiq (memfasikan), dan sebagainya. Padahal di antara syarat seseorang boleh melakukan jarh adalah dia sendiri tidak terkena jarh, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh ‘Ajaj Al Khatib dalam Ushulul Hadits-nya. Lebih parah lagi jika yang men-jarh adalah orang awam, bukan ulama tapi begitu jumawa men-jarh para ulama.

Sungguh jika gaya berpikir mereka dipakai, niscaya tidak ada satu pun di muka bumi ini baik ulama, da’i, ustadz, dan muballigh yang selamat dan kita bisa ambil ilmunya. Sebab, adakah manusia yang sama sekali tidak punya kesalahan, ketergelinciran, dan lalai? Maka, yang mereka lakukan bukanlah al jarh wat ta’dil tetapi ghibah (gunjing), namimah (adi domba), dan sibaabul muslim (mencela muslim), kesemuanya ini buruk dan berdosa.

Oleh karena itu, ada baiknya kita perhatikan komentar para ulama tentang orang-orang yang menyalahgunakan kaidah Al Jar wat Ta’dil untuk mencela para da’i dan ulama.

📌Syaikh Hasan bin Falah Al Qahthani berkata:

“Besar sekali bedanya antara Ilmu Al Jarh wat Ta’dil yang dipraktikkan oleh para ulama salaf dalam kitab-kitab dan karya-karya mereka, dengan pelecehan terhadap para ulama dan da’i, pencemaran nama baik, dan penyebaran aib serta kesalahan seseorang dengan mengatasnamakan Al Jarh wat Ta’dil yang terjadi sekarang ini.” (Syaikh Hasan bin Falah Al Qahthani, An Naqd; Adabuhu wa Dawafi’uh, Hlm. 34. Cet. 1, 1993M-1414H, Dar Al Humaidhi, Riyadh)

📌 Syaikh Shalih Al Fauzan Hafizhahullah menyatakan itu bukan al jarh wat ta’dil tapi ghibah dan namimah:

سماحة الشيخ من هم علماء الجرح والتعديل في عصرنا الحاضر ؟

الجواب :
والله ما نعلم أحداً من علماء الجرح والتعديل في عصرنا الحاضر ، علماء الجرح والتعديل في المقابر الآن ، ولكن كلامهم موجود في كتبهم كتب الجرح والتعديل والجرح والتعديل في علم الإسناد وفي رواية الحديث ، وماهو الجرح والتعديل في سبِّ الناس وتنقصهم ، وفلان فيه كذا وفلان فيه كذا ، ومدح بعض الناس وسب بعض الناس ، هذا من الغيبة ومن النميمة وليس هو الجرح والتعديل

Penanya: Syaikh yang mulia, siapakah yang dimaksud dengan ulama al jarh wat ta’dil pada masa kita sekarang ini?

Syaikh: Demi Allah, kami tidak mengetahui seorang pun ulama al jarh wat ta’dil pada saat ini. Sekarang ini para ulama al jarh wat ta’dil telah berada di dalam kubur. Akan tetapi, perkataan mereka tetap ada di dalam kitab-kitab mereka, kitab al jarh wat ta’dil. Al jarh wat Ta’dil itu hanya ada dalam ilmu sanad dan riwayat hadits. Dan mencela manusia serta menjatuhkannya bukanlah bagian dari ilmu al jarh wat ta’dil. Mengatakan si fulan begini… si fulan begitu… memuji sebagian orang dan mencela sebagian yang lain adalah ghibah dan namimah. Dan itu bukan al jarh wat ta’dil.

(Lihathttp://www.almanhaj.com/vb/showthread.php?t=1471&page=8&p=34223#post34223)

📌 Syaikh Abdul ‘Aziz Ar Rajihi ditanya:

هل يوجد في هذا الزمان علماء جرح وتعديل وهل يوجد تفريق بينهم ؟

الشيخ :
علم الجرح والتعديل إنتهى ، لإنه دوّنت الآن الكتب والأحاديث في الصحاح والسنن والمسانيد والمعاجم …. فلا يوجد جرح وتعديل ، والجرح والتعديل للمحدثيين إنتهى

Apakah ada di zaman ini ulama jarh wa ta’dil dan apakah ada perbedaan di antara mereka?

Syaikh menjawab: “Ilmu al jarh wat ta’dil sudah selesai, sebab ilmu tersebut saat ini sudah terlembagakan dalam buku-buku dan hadits-hadits baik dalam shahih, sunan, musnad dam mu’jam. Maka, tidak ada lagi jarh wa ta’dil, dan al jarh wat ta’dil adalah haknya para ahli hadits. Selesai.” (Ibid)

📌 Syaikh Abdullah Al Ghudyaan Hafizhahullah ditanya:

السائل : يا شيخ هل هذا صحيح هناك من يقول أنه يوجد علماء الجرح و التعديل في هذا الزمان ! ، فهل هذا صحيح ؟
الشيخ : والله يا أخي علم الجرح والتعديل موجود في الكتب

.السائل : في وقتنا هذا هل يوجد ؟

الشيخ : لا ، علم الجرح والتعديل عن علماء الحديث الذين نقلوا لنا الأحاديث بالأسانيد موجود في كتب الجرح والتعديل فما نحتاج إلى أحد الحين

السائل : يا شيخ هناك من يقول أن الدكتور ربيع بن هادي المدخلي حامل لواء الجرح والتعديل ؟!!
الشيخ : لا ، أنا لو يصادفني في الطريق ما عرفته يمكن ، ما عليّ من أحد

Penanya: Wahai Syaikh, apakah benar ada pihak yang mengatakan ada ulama jarh wa ta’dil di zaman ini, apakah ini benar?

Syaikh: Demi Allah ya akhi, ilmu al jarh wat ta’dil ada dalam kitab-kitab.

Penanya: Di zaman kita adakah?

Syaikh: “Tidak ada, ilmu al jarh wat ta’dil itu tentang ulama hadits yang menukilkan hadits kepada kita beserta sanad-sanadnya, adanya dalam kitab-kitab al jarh wat ta’dil, jadi saat ini kita tak lagi membutuhkan seorang pun (karena ilmu tersebut sudah selesai, pen).”

Penanya: “Syaikh, ada yang bilang bahwa Dr. Rabi’ Al Madkhali adalah pembawa bendera Al Jarh wat Ta’dil?”

Syaikh: “Tidak, seandainya dia ketemu saya di jalan mungkin saya tidak mengenalnya, saya tidak ada masalah dengan seorang pun.” ((Lihat https://www.youtube.com/watch?v=3GY10B9B_ec, menit ke 01:45-02:35)

Demikian. Wallahu A’lam

🍃🌸🌾🌷🌿🌳🍁🌻

✏ Farid Nu’man Hasan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

scroll to top