Tambahan Lafaz “Hayya ‘Alal Jihad” Pada Adzan

💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum ustadz mau bertanya terkait yang sedang viral.

Menambahkan lafadz hayya ‘alal jihad dalam adzan ustadz.

Apakah itu diperkenankan?(+62 858-7030-xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Ya, telah viral beberapa potongan video yang menampilkan beberapa kelompok orang yang berbeda sedang berkumpul layaknya shalat dan mengumandangkan adzan namun dengan tambahan hayya ‘alal jihad setelah melafazkan dua kalimat syahadat.

Maka, ini perlu dirinci dulu.

1. Jika itu ternyata bukanlah adzan untuk memanggil orang shalat, tapi – misalnya- sedang yel-yel atau sejenisnya.

Maka, ini hal yang makruh menurut umumnya ulama menggunakan adzan untuk keperluan selain shalat, tanpa dalil.

Dalam madzhab Syafi’i dan sebagian Maliki generasi akhir, dibolehkan adzan dipakai untuk keperluan selain shalat, ITU PUN TANPA ADA PERUBAHAN LAFAZ, baik penambahan atau pengurangan.

Tertulis dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah:

شُرِعَ الأَْذَانُ أَصْلاً لِلإِْعْلاَمِ بِالصَّلاَةِ إِلاَّ أَنَّهُ قَدْ يُسَنُّ الأَْذَانُ لِغَيْرِ الصَّلاَةِ تَبَرُّكًا وَاسْتِئْنَاسًا أَوْ إِزَالَةً لِهَمٍّ طَارِئٍ وَالَّذِينَ تَوَسَّعُوا فِي ذِكْرِ ذَلِكَ هُمْ فُقَهَاءُ الشَّافِعِيَّةِ فَقَالُوا : يُسَنُّ الأَْذَانُ فِي أُذُنِ الْمَوْلُودِ حِينَ يُولَدُ ، وَفِي أُذُنِ الْمَهْمُومِ فَإِنَّهُ يُزِيل الْهَمَّ ، وَخَلْفَ الْمُسَافِرِ ، وَوَقْتَ الْحَرِيقِ ، وَعِنْدَ مُزْدَحِمِ الْجَيْشِ ، وَعِنْدَ تَغَوُّل الْغِيلاَنِ وَعِنْدَ الضَّلاَل فِي السَّفَرِ ، وَلِلْمَصْرُوعِ ، وَالْغَضْبَانِ ، وَمَنْ سَاءَ خُلُقُهُ مِنْ إِنْسَانٍ أَوْ بَهِيمَةٍ ، وَعِنْدَ إِنْزَال الْمَيِّتِ الْقَبْرَ قِيَاسًا عَلَى أَوَّل خُرُوجِهِ إِلَى الدُّنْيَا

Pada dasarnya azan disyariatkan sebagai pemberitahuan untuk shalat, hanya saja adzan juga disunahkan selain untuk shalat dalam rangka mencari keberkahan, menjinakkan, dan menghilangkan kegelisahan yang luar biasa.
Pihak yang memperluas masalah ini adalah para ahli fiqih Syafi’iyah. Mereka mengatakan:

📌 Disunahkan adzan ditelinga bayi saat lahirnya
📌 di telinga orang yang sedang galau karena itu bisa menghilangkan kegelisahan,
📌 mengiringi musafir,
📌 saat kebakaran,
📌 ketika pasukan tentara kacau balau,
📌 diganggu makhluk halus,
📌 saat tersesat dalam perjalanan,
📌 terjatuh,
📌 saat marah,
📌 menjinakan orang atau hewan yang jelek perangainya,
📌 saat memasukan mayit ke kubur diqiyaskan dengan saat manusia terlahir ke dunia. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/372-373)

Ada pun Imam Malik memakruhkan semua hal ini, tapi berbeda dengan pengikutnya (Malikiyah) yang justru sepakat dengan kalangan Syafi’iyah. Berikut ini keterangannya:

وَكَرِهَ الإْمَامُ مَالِكٌ هَذِهِ الأْمُورَ وَاعْتَبَرَهَا بِدْعَةً ، إِلاَّ أَنَّ بَعْضَ الْمَالِكِيَّةِ نَقَل مَا قَالَهُ الشَّافِعِيَّةُ ثُمَّ قَالُوا : لاَ بَأْسَ بِالْعَمَل بِهِ

Imam Malik memakruhkan semua ini dan menyebutnya sebagai bid’ah, kecuali sebagian Malikiyah yang mengambil pendapat yang sama dengan Syafi’iyah, menurut mereka: “Tidak apa-apa mengamalkannya.” (Ibid, 2/372-373)

Maka, jika ini bukan adzan panggilan orang shalat maka makruh menurut mayoritas ulama, sebagian ada yang membid’ahkan, sebagian ada yang membolehkan ITU PUN TANPA PERUBAHAN LAFAZ. Jika ada perubahan lafazh maka tidak satu pun madzhab yang membenarkannya.

2. Jika ternyata itu benar-benar adzan untuk shalat. Maka, ini lebih berat lagi.

Sebab, lafaz adzan sudah paten dan diketahui dari zaman ke zaman, dan menjadi salah satu syiar utama Islam. Kecuali pada kalimat tertentu yang memang ada dasarnya, seperti:

– Ash Shalatu khairun minan naum (shalat itu lebih baik daripada tidur), pada adzan pertama di waktu subuh dibaca setelah hayya ‘alal falah. Ini shahih, diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Ibnu Majah, Imam Al Baihaqi, dll, dari jalur Ibnu Umar dan Abu Mahdzurah.

– Shalluu fii buyuutikum (shalatlah di rumah kalian), ini dari jalur Ibnu Abbas dalam Shahih Bukhari. Saat itu dilafazkan disaat hujan di waktu shalat Jumat. Imam Bukhari membuat Bab:

باب الرُّخْصَةِ لِمَنْ لَمْ يَحْضُرِ الْجُمُعَةَ فِي الْمَطَرِ

“Bab Keringanan bagi orang yang tidak menghadiri shalat Jumat di waktu hujan”

– Ala Shalluu fii rihaalikum (shalatlah di kendaraan kalian), dari jalur Ibnu Umar, saat itu malam yang dingin, berangin, dan hujan. Ini diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahihnya, pada Bab:

بَابُ الصَّلَاةِ فِي الرِّحَالِ فِي الْمَطَرِ

Bab Shalat di Kendaraan (Tunggangan) di saat Hujan

– Ada pun orang Syiah, menambahkan dengan “Hayya ‘ala khairil’ amal”, tidak ada dalam sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Namun, ada dalam perbuatan sebagian sahabat nabi seperti Ibnu Umar. (Lihat Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra, no. 1991)

Dalam riwayat yanh shahih, Naafi’ berkata: “Dahulu Ibnu Umar menambahkan pada adzannya dengan hayya ‘ala khairil’ amal.” Naafi’, juga berkata kadang Ibnu Umar meninggalkan kalimat itu. (Al Mushannaf Ibni Abi Syaibah no. 2240-2241)

Syaikh Zakariya Ghulam bin Qadir Al Bakistani mengatakan: “Ini menunjukkan hayya ‘ala khairil’ amal, bukanlah termasuk lafaz adzan. Sebab, jika termasuk lafaz adzan tidak mungkin Ibnu Umar kadang melakukan dan kadang meninggalkannya. Beliau mengucapkan itu sebagai peringatan bagi manusia saja.” (Maa Shahha min ‘Atsar ash Shahabah fil Fiqh, 1/195)

Juga dari Bilal bin Rabah dalam adzan shalat subuh, namun oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam diperintahkan diganti dengan Ash Shalatu khairun minan naum akhirnya “Hayya ‘ala khairil’ amal” tidak dipakai lagi. (Ath Thabarani dalam al Mu’jam al Kabir no. 1071. Hanya saja dalam sanadnya terdapat kelemahan. Lihat Majma’ az Zawaid, no. 1857)

Pandangan Para Ulama

Imam Ibnu Hajar Al Haitami:

(قَوْلُهُ: فَإِنْ جَعَلَهُ) أَيْ لَفْظَ حَيَّ عَلَى خَيْرِ الْعَمَلِ (قَوْلُهُ: لَمْ يَصِحَّ أَذَانُهُ) ، وَالْقِيَاسُ حِينَئِذٍ حُرْمَتُهُ؛ لِأَنَّهُ بِهِ صَارَ مُتَعَاطِيًا لِعِبَادَةٍ فَاسِدَةٍ

“Apabila lafadz adzan diubah seperti merubahnya menjadi “hayya ‘ala khairil’ amal – marilah berbuat kebaikan”, maka adzannya TIDAK SAH. Secara qiyas hukumnya adalah haram, karena orang yang mengubah kalimat adzan telah melakukan ritual ibadah yang rusak.”

(Tuhfatul Muhtaj, 1/468)

Dalam Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah yang diasuh oleh Syaikh Abdullah Al Faqih disebutkan:

فإن الأذان من أعظم شعائر الإسلام …..وإذا كان الأذان بهذه المنزلة، فلا شك أن المحافظة على ألفاظه الشرعية وصيانتها عن التحريف والتبديل من المحافظة على شعائر الإسلام، ولذا ذهب كثير من أهل العلم إلى أن الخطأ في ألفاظ الأذان أو أدائه بما يغير المعنى يبطل الأذان

Adzan termasuk syiar Islam yang paling agung… Jika adzan kedudukannya seperti itu, maka tidak ragu lagi bahwa menjaga lafaz-lafaznya yang Syar’i dan melindunginya dari penyimpangan dan perubahan adalah termasuk penjagaan terhadap syiar Islam. Oleh karena mayoritas ulama menyatakan bahwa kesalahan dalam lafaz adzan atau mengucapkannya tapi berubah maknanya, membuat adzan itu BATAL. (Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 36609)

Maka, jika tambahan “hayya ‘alal jihad” tersebut dianggap bagian dari adzan memanggil orang shalat maka adzan tersebut batal, bahkan dinilai sebagai perbuatan haram karena telah merusak ibadah. Di tambah lagi, sudah ratusan kali kaum muslimin berjihad sejak masa Badar sampai perang di Gaza, tidak ada satu riwayat dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, para sahabat, tabi’in, ulama madzhab, sampai ulama zaman ini dan para mujahidinnya, menggunakan lafaz itu dalam adzan mereka. Ini benar-benar hal yang baru ada dan murni “made in Indonesia.”

Demikian. Wallahu a’lam

🌿🌻🍃🍀🌷🌸🌳

✍ Farid Nu’man Hasan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

scroll to top