Syaikh Al Albani; Antara Pembenci dan Pengagumnya, dan Bagaimana Sikap Kita?

▪▫▪▫▪▫▪

Beliau adalah salah satu ahli hadits abad ini. Karyanya sangat banyak dan memenuhi perpustakaan dunia Islam. Banyak yang mengambil ilmunya, baik kalangan awam, terpelajar, dan juga ulama. Kepiawaiannya dalam meneliti hadits membuat sebagian muridnya memujinya dengan menyebutnya Al Bahaatstsah (peneliti ulung).

Para ulama dunia menaruh hormat padanya bahkan mengambil manfaat darinya, seperti Syaikh Yusuf Al Qaradhawi (Qatar), Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz (Saudi), Syaikh Ali Ath Thanthawi (Mesir) dan sebagainya.

Kenyataan ini menunjukkan posisinya yang baik dan istimewa di tengah para ulama. Walau para ulama ini tidak selalu sejalan dengan pendapat-pendapat Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah, di banyak perkara dan itu adalah hal biasa dalam keilmuan.

Dua Kutub Ekstrim

Jika membicarakan sosok, biasanya kita dapati dua kutub yang amat bertentangan tentang sosok tersebut. Ada yang membencinya, bahkan merendahkannya sedasar lautan, serta membuang semua hal yang berasal darinya dan tentangnya, namun ada juga  yang menyanjung dan meninggikannya seolah tiada cacat baginya, seakan perkataannya adalah hujjah final bagi manusia. Ini pula yang dialami oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani. Kedua sikap ini sama-sama tercela dan zalim.

Hendaknya kebencian kita kepada seorang manusia, apalagi muslim, terlebih tokoh agama, hanya karena perbedaan pandangan semata-mata, tidak membuat kita berlaku zalim kepadanya; merendahkan, menghina, dan menjadikannya seolah musuh abadi dan perusak agama.  Begitu pula kekaguman dan cinta kita kepada seorang tokoh dan ulama, tidaklah membuat kita mensucikannya, menjadikannya seolah nabi baru yang ma’shum, atau mendudukannya melebihi para imam yang empat, bahkan melebihi para sahabat dan tabi’in, yang jika pendapat mereka bertentangan dengannya, kita buang pendapat mereka dan kita ambil pendapat tokoh pujaan kita. Tertutup dari semua kritikan, memandang kritikan sebagai ancaman dan kebencian. Tanpa disadari sikap itu telah membebani apa-apa yang ulama tersebut juga tidak menginginkannya.

Sebagai contoh pada posisi orang-orang yang membencinya, kami dapati perkataan yang mengandung petir kebencian bagi Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, berasal dari perkataan sebagian murid-murid Syaikh Abdullah Al Harari, dalam kitab yang mereka susun berjudul,   Silsilah Al Hidayah Tabyinu Dhalalat Al Albani  Syaikh Al Wahabiyyah Al Mutamahdits.

Berikut ini sebagian saja perkataannya:

“Di antara mereka adalah seorang laki-laki yang menyandarkan dirinya pada ilmu dan ulama, pada hadits dan ahli hadits padahal itu hanyalah bualan dan dusta belaka. Dia menjadikan lisan dan penanya, seperti yang telah kami sebutkan, juga pada fatwa-fatwanya yang menumbuhkan fitnah, perpecahan, kedengkian, kebencian dan permusuhan di antara kaum muslimin, dia adalah Si Tukang Jam yang dijuluki NASHIRUDDIN AL ALBANI (Pembela Agama dari Al Bania), yang bagi kami telah cukup keadaan dirinya sebagai bekal untuk membantahnya, yaitu ketika dia menceritakan dirinya sebagai tukang jam dan hobinya membaca kitab tanpa talaqqi ilmu kepada ahlinya dan dia tidak memiliki sanad ilmu yang resmi. Maka, telah terjadi kontradiksi antara kenyataan ini dan itu, antara kitab-kitab dan sandaran dirinya kepada salaf padahal dia telah menyelisihi kaum salaf dalam masalah aqidah dan hukum-hukum fiqih.

Dia menyangka dirinya adalah ahli hadits padahal dia tidak hapal satu pun hadits beserta sanadnya yang bersambung sampai Rasulullah ﷺ, maka bagaimana dia menjadi seorang ahli hadits ketika dia menshahihkan suatu hadits pada sebuah kitabnya, lalu dia mendhaifkan hadits tersebut pada kitabnya yang lain dan sebaliknya.Dia menyerang para ulama dengan perkataan yang merendahkan dan mengejek, begitu  sombong dirinya mendebat secara  batil dan berani dengan hawa nafsunya terhadap Al Bukhari, Muslim, dan lainnya. Dia mendhaifkan hadits shahih yang telah disepakati para huffazh, sikapnya itu telah membuatnya berlaku syadz (janggal) dan keluar dari kesepakatan mayoritas umat Muhammad ﷺ dari kalangan Asya’irah dan Maturidiyah, yang dia telah  menuduh dengan   dusta bahwa mereka ini adalah ahli bid’ah. Maha suci Rabb kami ini adalah kedustaan yang besar.”.

(Lihat Silsilah  Al Hidayah Tabyin Dhalalat Al Albani, Hal. 5-6. Cet. 3, 2007M/1428H. Syirkah Darul Masyaari’)

Dalam kitab ini juga dicantumlan dialog yang menstigma Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, yang menunjukkan seakan dia tidak pantas sebagai Ahli Hadits. Berikut ini kutipannya:

“Diceritakan kepada kami, bahwa seorang laki-laki yang berprofesi sebagai  pengacara bertanya kepadanya: Apakah Anda seorang muhaddits/ahli hadits?”   Syaikh Al Albani menjawab: “Ya.” Lalu pengacara itu berkata: “Riwayatkanlah kepada kami sepuluh hadits saja beserta sanad-sanadnya.” Syaikh Al Albani menjawab: “Aku bukanlah ahli hadits dengan hapalan, tapi ahli hadits dengan kitab.” Maka, pengacara itu berkata: “Kalau begitu aku juga bisa jadi ahli hadits kitab.” Lalu Syaikh Al Albani terdiam.” (Ibid, Hal. 7)

Demikianlah. Ini baru satu saja buku yang mengkritiknya dengan tajam. Masih banyak lainnya yang berasal dari para ulama dari kalangan yang berbeda, baik ahli hadits bahkan sufi, seperti Syaikh Abdul Fattah Abu Ghudah, Syaikh Hasan As Saqqaf,  Syaikh Habiburrahman Al A’zhami, dan sebagainya. Atau kritikan biasa saja, yang dilakukan oleh Syaikh Yusuf Al Qaradhawi dalam masalah zakat pertanian, kritikan Syaikh Ali Ath Thanthawi dalam masalah cincin emas bagi wanita, bahkan ulama kerajaan Arab Saudi Syaikh Abdullah Al Ghudyan mengkritiknya dalam masalah aqidah, dan sebagainya.

Sebagian orang ada yang menjadikan kritikan-kritikan ini untuk menggebuk Syaikh Al Albani, melukainya, dan mencederai kehormatannya. Seharusnya kritikan-kritikan ini diletakkan pada porsi yang wajar; bahwasanya saling kritik di dunia ilmu adalah hal yang biasa dan maklum.

Kemudian …

Pada posisi pemujanya pun tidak kalah hiperbol dalam menyanjungnya dan menyamakan dengan imam-imam generasi awal dan pertengahan Islam.

Contohnya, tercatat pada beberapa syair yang ditulis mengiringi wafatnya tahun 1999 M yang lalu:

“Ia mengikuti Imam Al Bukhari menjadi Amirul Mukminin sesungguhnya, menjadi khalifah dalam hadits dan berjaya

Seperti Ibnul Madini menyingkap penyakit mata yang ada dalam hadits, ilmu yang menyulitkan para pakar, dan Beliau adalah salah satu pakarnya.” (Al Ashaalah, 23/46)

Juga Syairnya Syaikh Khairuddin Waatsili yang menyetarakan Syaikh Al Albani sebagai  Imam Ibnu Taimiyah Abad 14.

“Ibnu Taimiyah tidak memiliki generasi pengganti yang lebih  bernyawa daripada Syaikh As Sunnah Al Albani orangnya.

Keduanya adalah dua lautan ilmu dan lautan keutamaan, silahkan mereguknya sesukamu hendak mengambil ilmu dan keutamaannya.”

Syair ini membuat kita berpikir di mana posisi murid-murid Imam Ibnu Taimiyah sendiri yang langsung bersamanya selama bertahun-tahun seperti Imam Ibnul Qayyim, Imam Ibnu Katsir, Imam Ibnu Rajab, Imam Adz Dzahabi, dan murid-murid lainnya? Apakah semua ini kalah dibanding Syaikh Al Albani?

Ada pula yang memujinya bahwa mustahil ada ulama yang menggantikan posisi Syaikh Al Albani, tidak ada lagi imam seperti dirinya, dan keilmuannya tidak bisa digantikan oleh seseorang tapi baru bisa digantikan oleh sekelompok orang di berbagai negara, sebagaimana  dikatakan oleh Syaikh Muhammad Musa Nashr.

“Sungguh mataku belum pernah terpejam selamanya, setelah kepergian Syaikh Al Albani ke alam baka

Hatiku selalu menjerit Ya Rabbana! Mustahil tampak di dunia akan ada imam sepertinya.

Mungkin mereka berkata: Fulan dan Fulan bisa menggantikannya dalam ilmu, penelitian hadits dan dalil yang nyata

Bohong, mereka dusta, demi Rabb kami, justru mereka sedang menderita, terombang ambingkan ke Timur dan ke Barat sepanjang masa tersisa

Tidak mungkin Syaikh kita ini tergantikan dalam ilmunya, melainkan oleh SEKELOMPOK orang di berbagai negara.” (Al Ashalah, 23/27)

Dan masih banyak lagi …

Nah kita lihat, baik celaan terhadapnya, juga pujian kepadanya, sama-sama bernadakan ekstrim. Yang satu menjatuhkannya seakan Syaikh Al Albani adalah bodoh dalam hadits sampai-sampai diberitakan tidak hapal satu pun hadits dengan sanad-sanadnya yang bersambung sampai Rasulullah ﷺ. Sementara pemujanya menyanjungnya sedemikian rupa seolah dia seorang tabi’in besar yang  hidup di masa modern.

Sikap Pertengahan

Inilah sikap terbaik, baik cinta dan benci, tidak boleh diluapkan secara zalim. Kita bisa mengambil manfaat dari yang kita benci, sebagaimana kita bisa membuang dari yang kita cintai. Sebab kita adalah tawanan Allah dan RasulNya, bukan tawanan manusia. Jika ada yang baik dan benar dari mereka maka ambil-lah dan jangan ragu mengamalkannya, jika ada yang buruk dan salah maka tolaklah dan koreksi, termasuk yang datangnya dari Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah. Jangan sampai kebencian kita membuat kita buta kepada kebaikannya, dan jangan pula karena kecintaan kita membuat kita buta terhadap kekeliruannya.

Allah Ta’ala berfirman:

“Dan Kami jadikan kalian sebagai umatan wasathan/pertengahan.” (QS. Al Baqarah: 143)

Diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

“Sebaik-baiknya perbuatan (‘amal) adalah yang pertengahan.” (HR. Al Baihaqi, Syu’abul Iman, 8/411/3730. As Sam’ani meriwayatkan dalam Dzail Tarikh Baghdad secara marfu’ dari Ali, tetapi dalam sanadnya terdapat periwayat yang majhul. Ad Dailami juga meriwayatkan tanpa sanad dari Ibnu Abbas secara marfu’. Lihat Imam ‘Ajluni, Kasyful Khafa’, 1/391 dan Imam As Sakhawi, Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 112. Imam  As Suyuthi menyandarkan ucapan ini adalah ucapan Mutharrif bin Abdillah dan Abu Qilabah, yakni sebaik-baiknya urusan (Al Umur) adalah yang pertengahan. (Lihat Ad Durul Mantsur, 6/333.)

Sekian. Wallahu A’lam

🖋 Farid Nu’man Hasan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

scroll to top