Sholat Berjamaah Bergantian dalam Satu Masjid

📨 PERTANYAAN:

As Salamu ‘Alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh.

Ustadz farid Nu’man Hasan, semoga Allaah senantiasa menjaga kita semua. Ana mau tanya terkait shalat berjamaah di masjid. Bagaimanakah jika dalam satu masjid terdapat lebih dari 1 kelompok shalat berjamaah? apakah boleh? bagaimana status kelompok shalat berjamaah yang kedua dst? jazaakumullaah khairanil jazaa.

📬 JAWABAN

Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala Aalihi wa Man waalah, wa ba’d:
Pertanyaan antum perlu dirinci dulu.

1⃣ Pertama, Jika yang dimaksud adalah dalam waktu yang sama ada dua jamaah shalat dalam satu masjid,

Maka yang seperti ini shalatnya tetap sah, tidak ada nash yang menunjukkan batalnya. Hanya saja hal itu dibenci dan tercela, karena telah keluar dari ruh disyariatkannya berjamaah shalat, yaitu persatuan dan kebersamaan umat Islam. Selain memang hal itu bertentangan dengan sunah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan juga membuat kacaunya keadaan jamaah masjid. Kasus ini tidak bisa diqiyaskan dengan hadits jika ada dua bai’at kepada khalifah, maka bunuhlah salah satunya.

Dari Abu Said Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الْآخَرَ مِنْهُمَا

Jika telah dibai’at dua khalifah, maka bunuhlah salah satu di antara keduanya. (HR. Muslim No. 1853)

Qiyas tidak berlaku untuk urusan  ritual peribadatan, Imam Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan:

وباب القربات يقتصر فيه على النصوص، ولا يتصرف فيه بأنواع الأقيسة والآراء
Bab masalah qurbah (mendekatkan diri kepada Allah) harus berdasarkan nash, bukan karena qiyas atau pendapat-pendapat. (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, Juz.7, Hal. 465. Dar Thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi’. Cet. 2, 1999M-1420H)

Oleh karena itu, walaupun kejadian seperti ini  perkara yang dibenci  keberadaannya, namun shalatnya tetap sah.

2⃣ Kedua, jika yang dimaksud adalah dalam satu masjid terjadi beberapa kali shalat berjamaah.

Anggaplah kita istilahkan beberapa kali kloter, di waktu yang berlainan.

Nah, kasus ini pun terbagi lagi menurut  beberapa keadaan:

A.  Jika jamaah kedua terjadi  pada masjid yang tidak memiliki imam rawatib (imam tetap yang telah ditunjuk oleh pihak masjid), maka  ini boleh berdasarkan ijma’.

Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:

في مذاهب العلماء في اقامة الجماعة في مسجد اقيمت فيه جماعة قبلها: أما إذا لم يكن له امام راتب فلا كراهة في الجماعة الثانية والثالثة وأكثر بالاجماع

Pendapat berbagai ulama tentang shalat jamaah kedua pada masjid yang sudah dilaksanakan shalat berjamaah sebelumnya; jika masjid itu tidak memilki imam rawatib maka tidak dimakruhkan melaksanakan berjamaah kedua, ketiga, dan seterusnya berdasarkan ijma’. (Al Majmu’ Syarh Al Muhazdzab, 4/222)

B. Shalat jamaah kedua pada masjid-masjid yang ada di jalan-jalan (Al Mathruq) dan tanpa memiliki imam rawatib.

Maka  tidak mengapa terjadinya berulang jamaah. Sebab  masjid-masjid  seperti itu memang menjadi persinggahan banyak manusia secara bergantian, seperti mushalla-mushalla yang ada di terminal, stasiun, pasar-pasar, dan semisalnya.

Imam Abu Ishaq Asy Syairazi Rahimahullah mengatakan:

وإن كان المسجد مطروقا أو غير مطروق وليس له امام راتب لم تكره اقامة الجماعة الثانية فيه

Jika masjid tersebut berada di jalan-jalan  atau bukan, dan tidak memiliki imam tetap, maka tidak dimakruhkan menjalankan jamaah yang kedua di dalamnya. (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 4/222)

Tertulis dalam Al Mausu’ah:

أَمَّا إِذَا كَانَ الْمَسْجِدُ يَقَعُ فِي سُوقٍ ، أَوْ فِي مَمَرِّ النَّاسِ ، أَوْ لَيْسَ لَهُ إِمَامٌ رَاتِبٌ ، أَوْ لَهُ إِمَامٌ رَاتِبٌ وَلَكِنَّهُ أَذِنَ لِلْجَمَاعَةِ الثَّانِيَةِ ، فَلاَ كَرَاهَةَ فِي الْجَمَاعَةِ الثَّانِيَةِ وَالثَّالِثَةِ وَمَا زَادَ ، بِالإْجْمَاعِ

Ada pun jika masjid berada di pasar, atau tempat lalu lalang manusia, atau tidak memiliki imam rawatib, atau punya imam rawatib, tetapi dia memberikan izin kepada jamaah kedua, maka tidak dimakruhkan adanya shalat jamaah yang kedua, ketiga, dan seterusnya, menurut ijma’. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 22/47)

C. Shalat jamaah kedua –bahkan ketiga dan seterusnya

Terjadi karena masjid atau mushalla  tidak memadai menampung seluruh jamaah, sehingga jamaah mengantri untuk shalat berjamaah. Ini juga boleh dan sama sekali tidak dimakruhkan.

D. Sedangkan Shalat jamaah terjadi di masjid yang sudah memiliki imam rawatib dan bukan termasuk masjid di jalan-jalan,

Para ulama terjadi perselisihan pendapat. Sebagian mengatakan boleh berjamaah kedua dan itu lebih baik dibanding sendiri, yang lain mengatakan makruh, tetapi shalatnya tetap sah, dan lebih baik shalat sendiri saja.

1.       Pihak yang membolehkan berdalil dengan riwayat berikut:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ
جَاءَ رَجُلٌ وَقَدْ صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَيُّكُمْ يَتَّجِرُ عَلَى هَذَا فَقَامَ رَجُلٌ فَصَلَّى مَعَهُ

Dari Abu Sa’id dia berkata, datang seseorang dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah selesai shalat, Beliau besabda: “Siapakah di antara kalian yang mau menemaninya?” maka berdirilah seorang laki-laki dan shalat bersamanya. (HR. At Tirmidzi No. 220, katanya: hasan. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 4792. Imam Al Haitsami mengatakan perawinya adalah para perawi shahih. Lihat Majma’ Az Zawaid, 2/174 )

Laki-laki itu adalah Abu bakar Ash Shiddiq Radhiallahu ‘Anhu, sebagaimana disebutkan dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah. (Nailul Authar, 3/185)

Imam Ibnu Abi Syaibah memasukkan riwayat ini dalam Bab:

في القوم يَجِيئُونَ إلَى الْمَسْجِدِ وَقَدْ صُلِّيَ فِيهِ مَنْ قَالَ لاَ بَأْسَ أَنْ يُجَمِّعُوا.

Tentang kaum yang datang ke masjid yang sudah diadakan shalat berjamaah di dalamnya, dan orang yang mengatakan tidak apa-apa mereka shalat berjamaah. (Al Mushannaf, 2/321)

Dalil lainnya, hadits dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلَاةَ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً

Shalat berjamaah lebih utama 27 derajat dibanding shalat sendiri. (HR. Bukhari No. 645, pada No. 646 disebutkan: lebih utama 25 derajat dibanding shalat sendiri)

Hadits Ibnu Umar ini menunjukkan keutamaan shalat berjamaah dibanding shalat sendiri, dan ini berlaku umum tidak khusus pada jamaah yang pertama, sebab memang tidak ada dalil yang menunjukkan keutamaan shalat berjamaah hanya ada jamaah kloter pertama, dan akan hilang keutamaan itu  kalau melakukannya pada jamaah yang kedua dan seterusnya.

Imam At Tirmidzi Rahimahullah berkata:

وَهُوَ قَوْلُ غَيْرِ وَاحِدٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَغَيْرِهِمْ مِنْ التَّابِعِينَ قَالُوا لَا بَأْسَ أَنْ يُصَلِّيَ الْقَوْمُ جَمَاعَةً فِي مَسْجِدٍ قَدْ صَلَّى فِيهِ جَمَاعَةٌ وَبِهِ يَقُولُ أَحْمَدُ وَإِسْحَقُ

“Dan yang demikian itu pendapat lebih dari satu orang Ahli Ilmu golongan sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan selain mereka dari kalangan tabi’in. Mereka berkata: “Tidak apa-apa shalatnya sekelompok manusia secara berjamaah di sebuah mesjid yang di dalamnya sebelumnya sudah di adakan shalat jamaah.” Inilah pendapat Ahmad dan Ishaq. (Lihat Sunan At Tirmidzi No. 220)

Berkata Imam Asy Syaukani Rahimahullah:

وَالْحَدِيثُ يَدُلُّ عَلَى مَشْرُوعِيَّةِ الدُّخُولِ مَعَ مَنْ دَخَلَ فِي الصَّلَاةِ مُنْفَرِدًا ، وَإِنْ كَانَ الدَّاخِلُ مَعَهُ قَدْ صَلَّى فِي جَمَاعَة قَالَ ابْنُ الرِّفْعَةِ : وَقَدْ اتَّفَقَ الْكُلُّ عَلَى أَنَّ مَنْ رَأَى شَخْصًا يُصَلِّي مُنْفَرِدًا لَمْ يَلْحَقْ الْجَمَاعَةَ فَيُسْتَحَبُّ لَهُ أَنْ يُصَلِّيَ مَعَهُ وَإِنْ كَانَ قَدْ صَلَّى فِي جَمَاعَةٍ وَقَدْ اسْتَدَلَّ التِّرْمِذِيُّ بِهَذَا الْحَدِيثِ عَلَى جَوَازِ أَنْ يُصَلِّيَ الْقَوْمُ جَمَاعَةً فِي مَسْجِدٍ قَدْ صُلِّيَ فِيهِ .

Hadits ini menunjukkan disyariatkannya masuk berjamaah bersama orang yang shalat sendiri, walau orang yang masuk itu sudah shalat jamaah sebelumnya. Berkata Ibnur Rif’ah: “ Para ulama sepakat bahwa apabila seseorang melihat orang lain sedang melakukan shalat sendirian karena terlambat ikut jamaah, ia dianjurkan ikut berjamaah bersama orang tersebut, walau dia sudah shalat jamaah. “  At Tirmidzi juga berdalil dengan hadits ini bahwa bolehnya sekelompok orang shalat berjamaah di mesjid yang di dalamnya sudah di adakan shalat berjamaah sebelumnya.” (Nailul Authar, 3/185)

Berkata Syaikh Muhamamd bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah:

لا بد أن نعلم أن إعادة الجماعة في مسجد أقيمت فيه الجماعة تنقسم إلى قسمين: القسم الأول: أن يكون ذلك على وجه الاستمرار، بحيث يكون في هذا المسجد جماعتان دائماً، فهنا نقول: إن الجماعة الثانية بدعة؛ لأن المطلوب من الأمة الإسلامية أن تجتمع على إمام واحد. القسم الثاني: أن تكون الجماعة الثانية عارضة، يعني ليست باستمرار، فهذه الجماعة مشروعة، ومن قال إنها بدعة فقد أخطأ، فإذا دخل المسجد جماعة قد فاتتهم صلاة الجماعة الأولى فإنهم يصلونها جماعة، لعموم قول النبي صلى الله عليه وسلم: (صلاة الرجل مع الرجل أزكى من صلاته وحده، وصلاته مع الرجلين أزكى من صلاته مع الرجل، وما كان أكثر فهو أحب إلى الله). ولأن رجلاً دخل المسجد والنبي صلى الله عليه وسلم في أصحابه وقد انتهت الصلاة فقال: (ألا رجل يقوم إلى هذا فيتصدق عليه فيصلي معه، فقام أحد الصحابة فصلى معه). إذاً: هذه الجماعة التي كانت بعد الجماعة الأولى بدون أن تكون باستمرار جماعة مطلوبة، وليست بمكروهة ولا محرمة ولا بدعة.

Mesti kita ketahui bahwa mengulangi jamaah di masjid ada dua macam: pertama, melakukannya secara terus menerus dalam satu masjid ada dua kali jamaah. Kami katakan: ini adalah bid’ah, karena umat Islam diperintahkan untuk bersama satu imam. Ada pun kedua, bila itu hanya kadang-kadang (dilakukan), misalnya oleh sekelompok orang yang datang ke masjid dan mendapatkan orang-orang telah selesai shalat. Disini mereka dibolehkan dan tidak mengapa mengerjakan shalat berjama’ah (kedua). Adapun pendapat yang menyatakan, hal ini sebagai satu kebid’ahan, maka pendapat itu salah. Jika mereka mendatangi masjid dan mendapatkan jamaah pertama sudah selesai, maka hendaknya mereka melakukan shalat jamaah, sesuai keumuman sabada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: (Shalatnya seseorang bersama orang lain lebih utama dibanding shalatnya sendiri, shalatnya bersama dua orang lebih utama dibanding bersama satu orang, dan yang lebih banyak dari itu lebih disukai Allah).  Juga, karena dahulu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam duduk bersama para sahabatnya, lalu masuk seseorang yang belum shalat. Rasulullah bersabda:

“Adakah orang yang mau bershadaqah kepada orang ini, lalu shalat bersamanya?” Lalu ada seseorang yang bangkit dan shalat bersamanya.

Jadi, jamaah ini dilakukan setelah selesainya jamaah yang pertama, tanpa dilakukan terus menerus, maka dia bukanlah makruh, haram, dan bukan pula bid’ah. (Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Al Liqa’ Asy Syahri, hal. 12)

Para sahabat yang mengikuti pendapat ini di antaranya adalah   Abdullah bin Mas’ud dan Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhuma, juga tabi’in seperti ‘Alqamah, Masruq bin Ajda, Al Aswad, Atha, Al Hasan Al Bashri dalam satu riwayat, dan Asyhab.

Disebutkan dalam Al Mushannaf-nya Ibnu Abi Syaibah:

حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ الأَزْرَقُ ، عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ أَبِي سُلَيْمَانَ ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ ، أَنَّ ابْنَ مَسْعُودٍ دَخَلَ الْمَسْجِدَ وَقَدْ صَلَّوْا فَجَمَّعَ بِعَلْقَمَةَ وَمَسْرُوقٍ وَالأَسْوَدِ

Berkata kepada kami Ishaq bin Al Azraq, dari Abdul Malik bin Abu Sulaiman, dari Salamah bin Kuhail, bahwa Ibnu Mas’ud masuk ke masjid, dan manusia telah selesai shalat, maka dia berjamaah dengan ‘Alqamah, Masruq, dan Al Aswad. (Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf,  No. 7182)

Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarkafuri mengatakan: isnadnya shahih. (Tuhfah Al Ahwadzi, 2/8), dan Beliau mengatakan pendapat inilah yang benar, Beliau juga memberikan uraian panjang dan koreksi atas pihak yang memakruhkan shalat berjamaah kloter kedua dan seterusnya di masjid yang sama. (Ibid, 2/8-10)

Imam Bukhari menceritakan:

وَجَاءَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ إِلَى مَسْجِدٍ قَدْ صُلِّيَ فِيهِ فَأَذَّنَ وَأَقَامَ وَصَلَّى جَمَاعَةً

Anas bin Malik datang menuju masjid dan di dalamnya sudah dilaksanakan shalat, lalu dia azan, iqamah, dan shalat secara berjamaah. (Shahih Bukhari dalam Bab Fadhli Shalatil Jamaah)

Imam Bukhari memasukkan kisah Anas bin Malik ini ke dalam Bab Keutamaan Shalat Berjamaah, hal itu menunjukkan bahwa menurutnya jamaah kloter kedua tetaplah disebut berjamaah dan mendapatkan  nilai keutamaan 27 atau 25 derajat. Setelah Beliau menyebutkan kisah Anas ini, Beliau memasukkan pula hadits tentang keutamaan shalat berjamaah lebih utama 27 atau 25  derajat dibanding shalat sendiri.

Imam Al ‘Aini Rahimahullah menceritakan:

وهو قول عطاء والحسن في رواية وإليه ذهب أحمد وإسحاق وأشهب عملا بظاهر قوله صلاة الجماعة تفضل على صلاة الفذ الحديث

Ini juga pendapat ‘Atha, Al Hasan dalam satu riwayat, juga pendapat Ahmad, Ishaq, dan Asyhab, hal ini sesuai dengan zahir sabda nabi tentang keutamaan shalat berjamaah dibanding shalat sendiri. (‘Umdatul Qari, 8/241)

Alasan lainnya adalah hadits Shahih Bukhari:

أفضل صلاة المرء في بيته إلا المكتوبة

“Shalat yang paling utama bagi seseorang adalah di rumahnya, kecuali shalat wajib.”
Maka, menurut keumuman hadits ini shalat berjamaah kedua di masjid adalah boleh, karena memiliki keutamaan dibanding di rumah.

Ini juga pendapat Syaikh Dr. Abdullah Al Faqih. (Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyah No. 27537), Syaikh Hisam ‘Afanah. (Fatawa Yas’alunaka, 3/14)

2.       Pihak yang memakruhkan, mereka memilih shalat sendiri-sendiri dibanding berjamaah, jika memang jamaah yang pertama sudah selesai.

Imam At Tirmidzi menyebutkan:

و قَالَ آخَرُونَ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ يُصَلُّونَ فُرَادَى وَبِهِ يَقُولُ سُفْيَانُ وَابْنُ الْمُبَارَكِ وَمَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ يَخْتَارُونَ الصَّلَاةَ فُرَادَى وَسُلَيْمَانُ النَّاجِيُّ بَصْرِيٌّ وَيُقَالُ سُلَيْمَانُ بْنُ الْأَسْوَدِ وَأَبُو الْمُتَوَكِّلِ اسْمُهُ عَلِيُّ بْنُ دَاوُدَ

Golongan Ahli Ilmu lainnya berpendapat hendaknya dilakukan shalatnya sendiri-sendiri saja (jika sebelumnya sudah diadakan shalat berjamaah, dengan kata lain tidak ada shalat berjamaah ‘kloter’ kedua, pen), inilah pendapat Imam Sufyan Ats Tsauri, Ibnul Mubarak, Malik, Syafi’i, mereka memilih shalat sendiri, Sulaiman An Naji Bashri dia juga disebut  Sulaiman bin Al Aswad dan Abul Mutawakkil nama aslinya adalah Ali bin Daud. (Lihat Sunan At Tirmidzi No. 220)

Telah diriwayatkan dari Al Hasan, Abu Qilabah, dan Ibrahim An Nakha’i bahwa para sahabat melakukan shalat sendiri-sendiri jika jamaah sudah selesai. (Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf, 2/323)

Al Qasim bin Muhammad pernah datang ke masjid dan shalat jamaah sudah dilakukan di dalamnya, maka dia melakukan shalat sendiri. (Ibid No. 7189)

Ini juga pendapat ulama kontemporer seperti Syaikh Al Albani, Syaikh Masyhur Hasan Salman, dan lain-lain.

Alasan kelompok ini adalah bahwa jamaah kedua dapat memecah belah barisan kaum muslimin, serta dapat mengurangi jumlah jamaah yang pertama.  Lalu, jika dibolehkan jamaah kedua, membuka peluang orang akan menunda-nunda shalat tepat waktu secara berjamaah.

Alasan lain adalah hadits dari Abu Bakrah Radhiallahu ‘Anhu,  katanya:

أن رسول الله صلى الله عليه و سلم اقبل من نواحى المدينة يريد الصلاة فوجد الناس قد صلوا فمال إلى منزله فجمع اهله فصلى بهم

Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam datang dari pinggir kota Madinah, dia hendak shalat dan  Beliau dapatkan manusia telah selesai shalatnya, lalu Beliau pulang ke rumahnya dan mengumpulkan keluarganya dan shalat bersama mereka. (HR. Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Ausath No. 4601. Imam Al Haitsami mengatakan: perawinya terpercaya. Lihat Majma’ Az Zawaid, 2/173)

Dengan hadits ini, pihak yang memakruhkan berkata:

ولو كانت الجماعة الثانية جائزة بلا كراهة لما ترك فضل المسجد النبوي

Seandainya jamaah kedua adalah boleh, tidak makruh, kenapa Beliau meninggalkan keutamaan shalat di masjid nabawi? (Tuhfah Al Ahwadzi, 2/9)

Alasan ini dijawab oleh pihak yang membolehkan:

أن الحديث ليس بنص على أنه صلى الله عليه و سلم جمع أهله فصلى بهم في منزله بل يحتمل أن يكون صلى بهم في المسجد وكان ميله إلى منزله لجمع أهله لا للصلاة فيه وحينئذ يكون هذا الحديث دليلا لاستحباب الجماعة في مسجد قد صلى فيه مرة لا لكراهتها

Sesungguhnya hadits tersebut tidaklah menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengumpulkan keluarganya lalu shalat bersama mereka di rumah. Tetapi maknanya adalah Beliau shalat bersama keluarganya di masjid, kepulangan Beliau ke rumah adalah untuk mengumpulkan keluarganya bukan untuk shalat di dalamnya. Sehingga hadits ini merupakan dalil dianjurkannya shalat berjamaah di masjid yang sebelumnya telah dilakukan sekali shalat, itu tidaklah makruh. (Ibid)

Memang harus dimaknai bahwa Beliau shalat bersama keluarganya di masjid, bukan dirumah, sebab yang Beliau lakukan adalah shalat wajib. Jika tidak dimaknai demikian, maka akan bertentangan dengan sabda Beliau sendiri dalam Shahih Bukhari berikut:

أفضل صلاة المرء في بيته إلا المكتوبة

“Shalat yang paling utama bagi seseorang adalah di rumahnya, kecuali shalat wajib.”

Kalau pun hadits ini bermakna shalatnya nabi itu di rumah bersama keluarganya, maka jelas-jelas  hadits ini juga tidak menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan shalatnya sendiri; artinya hadits ini justru hujjah bagi pihak yang membolehkan berjamaah setelah jamaah  pertama. Sebab, kalau memang shalat sendiri adalah lebih utama dibanding jamaah yang kedua, pastilah Beliau memilih melakukan shalat sendiri itu di masjid, tetapi Beliau memilih pulang dan berjamaah dengan keluarganya.

Syaikh Ibrahim bin Shalih Al Khudhairi menjelaskan tentang hadits Abu Bakrah:

فإنها لا تدل على أن تكرار الجماعة في المسجد لا يجوز ” لأنه – صلى الله عليه وسلم – أقر تكرارها وأمر به – كما تقدم . ولم يقل أن صلاتها في البيت أولى ؛ بل عموم قوله : « أفضل صلاة المرء في بيته إلا المكتوبة » : يدل على جواز تكرار المكتوبة جماعة بالمسجد لكونها فيه أفضل ، ثم إن هؤلاء يقولون بجوازها في مساجد الطرق العامة .

Sesungguhnya hal itu tidak menunjukkan tidak bolehnya berulang shalat berjamaah di masjid, karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah menyetujui hal itu dan memerintahkannya sebagaimana penjelasan terdahulu. Dan, Beliau tidak mengatakan bahwa shalatnya di rumah itu lebih utama, bahkan secara umum adalah “Shalat yang paling utama bagi seseorang adalah di rumahnya kecuali shalat wajib”, ini menunjukkan bolehnya terjadi pengulangan shalat jamaah di masjid karena padanya memiliki keutamaan, kemudian mereka mengatakan dibolehkan pula di masjid-masjid yang berada di jalan-jalan umum. (Syaikh Ibrahim bin Shalih Al Khudhairi, Ahkamul Masajid, Hal. 140)

Sehingga pendapat yang menyatakan boleh, dengan berbagai kondisi yang membenarkannya seperti yang dipaparkan di awal tulisan, adalah lebih tepat, apalagi manusia zaman sekarang yang jumlahnya sangat banyak dan padat, dengan aktifitas yang sangat dinamis, dan dibarengi  jiwa keberagamaan mereka yang melemah, maka  mestilah diberikan  kabar gembira yang paling jauh bisa mereka lakukan; yaitu bahwa walaupun Anda berjamaah pada kloter kedua, janganlah berkecil hati, Anda tetap mendapat pahala berjamaah, sebagaimana jika Anda ingin sekali shalat berjamaah dengan jamaah pertama tetapi jamaah sudah selesai, lalu akhirnya Anda shalat sendiri, tetaplah Anda mendapatkan pahala jamaah, karena Islam menghargai niat Anda itu.

Alasan pembolehan ini juga  diberikan syarat bagi pelakunya:

–          Tidak berarti meremehkan shalat jamaah yang pertama, tetaplah shalat tepat waktu bersama jamaah pertama menjadi pilihan yang mesti dikejar secara sungguh-sungguh oleh setiap muslim

–          Tidak berarti jamaah kedua memecahkan barisan  dan persatuan umat Islam, sebab di antara manusia ada yang berjamaah pada kloter kedua  dengan berbagai udzur yang dimaklumi dan masyru’, ada pun jika ada seseorang  atau sekelompok orang yang tidak mau berjamaah pada kelompok yang pertama karena ada seseorang yang dibencinya, maka hal ini sifatnya sangat personally, tergantung orangnya,  dan sama sekali bukan hujjah, karena hujjah tidak dibangun dari perilaku oknum

Berkata Syaikh Hisam ‘Afanah:

وهذا القول هو أرجح القولين في المسألة وأقول به خاصة إذا كان أهل الجماعة الثانية لم يقصدوا ترك الصلاة مع الجماعة الأولى في المسجد لتفريق جماعة المصلين

Dan ini adalah pendapat yang lebih kuat di antara dua pendapat. Saya katakan demikian, khususnya jika mereka yang shalat jamaah kedua itu tidak memaksudkannya meninggalkan shalat bersama jamaah yang pertama di masjid  dengan tujuan memecah belah jamaah orang yang shalat. (Fatawa Yas’alunaka, 3/14)

Sekian masalah ini. Wallahu A’lam

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

scroll to top