Jangan Sembarang Tafsirkan Al Quran

💦💥💦💥💦💥💦💥

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum ane lihat begitu banyak org mudah menafsirkan alquran ..apakah setiap org berhak menafsirkan alquran?

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam warahmatullah, … Bismillah wa Hamdulillah ..

Mengomentari dan menafsirkan Al Quran tanpa ilmu, jelas terlarang dan berbahaya. Sebab masing-masing ilmu ada ahlinya, kembalikan kepada yg ahlinya. Hal ini juga terjadi pada disiplin ilmu lainnya. Fisika, Biologi, Ekonomi, kedokteran, dll, ada spesialisnya masing-masing, maka Al Quran juga demikian. Ini bukan berarti Al Quran menjadi elitis, tp karena memang kemampuanlah yang menjadi dasarnya. Sederhananya, semua siswa berhak kuliah di ITB, tp apa semua siswa mampu secara akademik meneruskan ke ITB? Maka, pd prinsipnya semua umat Islam berhak menafsirkan al Quran, tapi apa semuanya mampu? Tidak. Maka, kembalikan ke ahlinya agar tidak binasa.

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

من قال في القرآن بغير علم فليتبوأ مقعده من النار

“Barangsiapa yang berkata tentang (isi) Al Quran dengan tanpa ilmu, maka disediakan baginya tempat duduk di neraka.” (HR. At Tirmidzi No. 4022, katanya: hasan shahih)

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

ومن قال في القرآن برأيه فليتبوأ مقعده من النار

“Barangsiapa yang berkata tentang (isi) Al Quran dengan akal pikirannya semata, maka disediakan bagianya tempat duduk di neraka.” (HR. At Tirmidzi No. 4023, katanya: hasan)

Bagaimana maksud hadits yang mulia ini? Berkata Syaikh Abdurrahman Al Mubarkafuri Rahimahullah (w. 1353H):

“ومن قال” أي من تكلم “في القرآن” أي في معناه أو قراءته “برأيه” أي من تلقاء نفسه من غير تتبع أقوال الأئمة من أهل اللغة والعربية المطابقة للقواعدالشرعية بل بحسب ما يقتضيه عقله وهو مما يتوقف على النقل بأنه لا مجال للعقل فيه كأسباب النزول والناسخ والمنسوخ وما يتعلق بالقصص والأحكام

“Wa man qaala” yaitu barang siapa yang berbicara, “fil Quran” yaitu tentang makna Al Quran atau bacaannya, “bi Ra’yihi ” yaitu sesuai dengan nafsunya dengan tanpa mengikuti perkataan para imam ahli bahasa dan arab, (tanpa) menyesuaikan dengan kaidah-kaidah syariat. Bahkan akalnya harus mengikuti apa-apa yang disikapi oleh dalil, karena sesungguhnya tidak ada tempat bagi akal di dalamnya, seperti masalah asbabun nuzul, nasikh mansukh, dan hal yang terkait dengan kisah dan hukum.” (Tuhfah Al Ahwadzi, 8/278-279)

Oleh karena itu, Imam Ibnu Katsir Rahimahullah (w. 774H) dengan tegas mengharamkan tafsir bir ra’yi (tafsir dengan akal/rasio), dengan ucapannya:

فأما تفسير القرآن بمجرد الرأي فحرام

“Ada pun tafsir Al Quran semata-mata dengan ra’yu, maka itu haram.” Lalu beliau menyebutkan hadits-hadits di atas. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/10. Dar Thaibah Lin Nasyr wat Tauzi’)

Menafsirkan Al Quran dengan akal yakni tafsir bir ra’yi tidak selamanya terlarang, selama orang tersebut melakukannya dengan ijtihad yang benar, memahami seluk beluk bahasa Arab dengan baik dan niat yang besih. Dan ini jelas tidak semua orang mampu melakukannya.

Al Ustadz Hasan Al Banna Rahimahullah mengatakan:

والقرآن الكريم والسنة المطهرة مرجع كل مسلم في تعرف أحكام الإسلام ، ويفهم القرآن طبقا لقواعد اللغة العربية من غير تكلف ولا تعسف ، ويرجع في فهم السنة المطهرة إلى رجال الحديث الثقات

“Al Quran Al Karim dan Sunah yang suci, merupakan referensi setiap muslim dalam mengetahui hukum-hukum Islam. Memahami Al Quran mesti sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab dengan tanpa takalluf (memaksakan) dan ta’assuf (menyimpang), dan mengembalikan pemahaman tentang as sunah yang suci kepada para rijalul hadits yang tsiqat (kredibel).” (Ushul ‘Isyrin, No. 2)

Bahkan jika tafsirnya menyimpang dari jalan yang benar, tidak sesuai makna bahasa Arab yang benar, bisa membuat pelakunya menjadi kafir.

Al Ustadz Al Banna berkata lagi:

ولا نكفر مسلما أقر بالشهادتين وعمل بمقتضاهما وأدى الفرائض ـ برأي أو بمعصية ـ إلا إن أقر بكلمة الكفر , أو أنكر معلوما من الدين بالضرورة , أوكذب صريح القرآن , أو فسره على وجه لا تحتمله أساليب اللغة العربية بحال , أو عمل عملا لا يحتمل تأويلا غير الكفر

Kita tidak mengkafirkan seorang muslim, yang telah mengikrarkan dua kalimat syahadat, mengamalkan kandungannya, dan menunaikan kewajiban-kewajibannya, baik karena lontaran pendapat maupun karena kemaksiatannya, kecuali jika ia mengatakan kata-kata kufur, mengingkari sesuatu yang telah diakui sebagai bagian penting dari agama, mendustakan secara terang-terangan Al-Qur’an, menafsirkannya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab, atau berbuat sesuatu yang tidak mungkin diinterpretasikan kecuali dengan tindakan kufur. (Ushul ‘Isyrin No. 20)

Hal serupa juga dikatakan oleh Syaikh Utsaimin Rahimahullah (Lum’ah al I’tiqad, Hal. 19) saya ringkas saja:

1⃣ Dilakukan melalui ijtihad dan niat yang baik. Maka ini dimaafkan.

2⃣ Dilakukan karena hawa nafsu dan fanatisme, dan memiliki argumentasi bahasa Arab, maka pelakunya fasiq, kecuali jika pendapatnya itu terdapat penguarangan atau aib terhadap Allah maka itu bisa kufur.

3⃣ Dilakukan karena hawa nafsu dan fanatisme, dan tanpa memiliki argumentasi bahasa Arab. Keloimpok ini kufur, kaena pada hakikatnya kedustaan yang tidak berdasar. (demikian dari Syaikh Ibnu Utsaimin)

Wallahu A’lam

🌻🍃🌸🌾🌴🌺☘🌷

✏ Farid Nu’man Hasan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

scroll to top