Menyikapi Asy’ariyah

💢💢💢💢💢💢💢💢

Makna Asy’ariyah atau Asya’irah

Menurut Syaikh Yusuf Al Qaradhawi Hafizhahullah, Asy’ariyah adalah madzhab aqidah Islam yang paling dominan di dunia Islam, kecuali Arab Saudi. Kampus-kampus Islam ternama rata-rata didominasi oleh para ulama dan pemikir Asy’ariyah, termasuk ulama-ulama yang dikenal di dunia Islam rata-rata Asy’ariyah, seperti para imam: Al Ghazali, Al Juwaini, Ibnu Abdissalam, Asy Syirazi, An Nawawi, Ibnu Hajar, As Suyuthi, As Subki, dan lainnya.[1] Namun, ulama ada yang menolak klaim ini, seperti ulama Arab Saudi, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin yang menurutnya Asy’ariyah sebagai mayoritas tidaklah benar.

Asy’ariyah, disandarkan kepada nama seorang imam besar Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Imam Abu al Hasan al Asy’ariy Rahimahullah (260 – 324 H). Pada awalnya dia seorang berpaham mu’tazilah karena pengaruh ayah tirinya Ali Al Juba’i,  lalu meninggalkan Mu’tazilah dan tobat darinya setelah 40 tahun lamanya.

Ulama yang dinilai dzaka’un mufrithun[2] (kecerdasan melebihi rata-rata) ini, konon mengalami tiga fase dalam hidupnya. Imam Ibnu Katsir Rahimahullah menyebutkan, pertama, fase mu’tazilah. Kedua. fase kullabiyah (mengikuti Imam Abdullah bin Sa’id bin Kullab al Bashri) yang menetapkan sifat-sifat Allah ﷻ seperti al hayah, al ‘ilmu, al qudrah, al iradah, al ‘ilmu, al bashar, dan al kalam, namun mentakwil sifat-sifat zatiyah seperti wajah, tangan, kaki, betis, dan lainnya. Fase ketiga, yaitu fase salaf, tidak lagi takwil tapi itsbat, ditandai dengan kitabnya yang terakhir Al Ibanah ‘an Ushulid Diyanah.[3] Bagi golongan salafiyah, kitab Al Ibanah ini bukti Imam Abul Hasan telah menjadi salafi, sedangkan Asy’ariyah  adalah pengikut Imam Abul Hasan di fase keduanya, sehingga Asy’ariyah memiliki ciri khas; takwil terhadap sifat-sifat khabariyah-nya Allah  ﷻ.

Namun, pembagian tiga fase ini dibantah oleh para ulama Asy’ariyah, dan menyebutnya sebagai kisah hoax  atas nama Imam Abu al Hasan al Asy’ari Rahimahullah.[4] Bagi mereka kitab terakhir Imam Abul Hasan adalah al Luma’ fil Radd Ahl az Zaigh wa al Bida’. Seandainya benar Al Ibanah adalah kitabnya yang terakhir, menurut mereka kitab tersebut sudah ditahrif (diubah) dari aslinya.[5]  Sebab, corak pemikiran Imam Abul Hasan yang sangat detil dan analis, tidak nampak dalam kitab Al Ibanah yang hanya berisi penjelasan-penjelasan ringkas. Bagi mereka Imam Abul Hasan hanya mengalami dua fase saja, yaitu pertama, fase mu’tazilah dan kedua,  fase tobat dari mu’tazilah, yaitu dia mengikuti Ibnu Kullab, yang disebut sebagai jalannya salaf Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dan inilah yang diikuti Asy’ariyah.

Imam Ibnu Hajar Al Asqalani Rahimahullah berkata -saat membahas biografi Imam Ibnu Kullab:

وعلى طريقته مشى الأشعري في كتاب الإبانة

Al Asy’ariy berjalan di atas jalannya (Ibnu Kullab) dalam kitab Al Ibanah.[6]

Oleh karennya, Syaikh Hamd As Sinan dan Syaikh Fauzi Anjazi Hafizhahumallah berkata:

وهذا يزيدنا يقيناً على يقين بأن الإمام ابن كلاب كان على طريق السلف الصالح ومن أئمتهم، لأن الإبانة التي ألَّفها الإمام الأشعري في آخر حياته على منهج السلف هي مؤلَّفة على طريقة الإمام ابن كلاب، وهذا يقتضي قطعاً أن طريق السلف وطريق ابن كلاب هما في حقيقة الأمر طريق واحد وهو ما كان عليه الإمام الأشعري بعد رجوعه عن الاعتزال

Ini menambah keyakinan kami bahwa Imam Ibnu Kullab berada di atas jalan Salaf ash Shalih dan para imam mereka, karena kitab Al Ibanah yang disusun oleh Imam Al Asy’ari di akhir hayatnya adalah Al Ibanah yang di atas jalannya Ibnu Kullab. Ini menunjukkan bahwa jalan salaf dan jalan Ibnu Kullab adalah jalan yang satu, yaitu jalan yang ditempuh Imam Al Asy’ari setelah tobatnya dari Mu’tazilah.[7]

Kesimpulannya, Asy’ariyah adalah para ulama yang mengikuti manhaj aqidah Imam Abul Hasan al Asy’ari Rahimahullah di fase setelah tobatnya dari Mu’tazilah, yaitu menetapkan sebagian sifat, dan menakwilkan sebagian lain. Takwil sendiri adalah salah satu sikap para salaf terhadap sebagian sifat-sifat Allah ﷻ, sebagaimana yang telah kami bahas dalam “Salaf dan Takwil”, sehingga secara konseptual takwil sendiri bukanlah mutlak kesalahan dan bukan hal asing. Kesalahan dalam takwil adalah pada kandungan takwil itu sendiri apakah sesuai dengan makna bahasa, sesuai konteks, ataukah sudah menyimpang baik dekat atau jauh, atau takwil yang memaksakan (takalluf).

Rata-rata Asy’ariyah adalah Ulama Syafi’iyyah

Ini adalah kenyataan sejarah yang tidak bisa diingkari dan sudah berlangsung lebih dari 1000 tahun lamanya. Maka, sungguh mengherankan ketika ada kalangan yang menyindir “Aqidahnya Asy’ari, tapi fiqihnya Syafi’i” sebagai sebuah keanehan.  Tentu diam bagi mereka adalah lebih baik dari pada membuka aib diri sendiri.

Begitu pula kalimat  “Fiqihnya Hanafi, aqidahnya Maturidi”, atau “Fiqihnya Maliki, aqidahnya Asy’ari”, sebab tidak sedikit para ulama Malikiyah yang Asy’ariyah, seperti pakar tafsir, Imam Al Qurthubi Rahimahullah. Bahkan kalangan Hambaliyah seperti Imam Ibnul Jauzi Rahimahullah, memiliki sikap sebagaimana Asy’ariyah yaitu takwil, walau Beliau sendiri pernah mengkritik Asy’ariyah.

Kita ambil contoh beberapa saja:

Imam Abu Ishaq al Isfirayini Rahimahullah (w. 418H).

Beliau hidup lebih dari 1000 tahun lalu. Tentang Beliau, Imam Abu Bakar Muhammad bin Manshur al Marwazi berkaya:

الْأُسْتَاذ، الإِمَام، الْفَقِيه على مَذْهَب الشَّافِعِي، الْمُتَكَلّم على مَذْهَب الْأَشْعَرِيّ

Dia adalah seorang Ustadz, Imam, AHLI FIQIH MADZHAB SYAFI’I, dan ahli kalam MADZHAB ASY’ARI.[8]

Imam Al Qadhi Abu Muhammad al Istirabadzi Rahimahullah (w. 412H),

Juga hidup lebih dari 1000 tahun lalu. Imam Ibnush Shalah Rahimahullah berkata:

قَالَ الْخَطِيب: كتبت عَنهُ، وَكَانَ صَدُوقًا، فَاضلا، صَالحا، سَافر الْكثير، وَلَقي شُيُوخ الصُّوفِيَّة، وَكَانَ يفهم الْكَلَام على مَذْهَب الْأَشْعَرِيّ، الْفِقْه على مَذْهَب الشَّافِعِي، وَمَات بِبَغْدَاد فِي سنة اثْنَتَيْ عشرَة وَأَرْبع مئة.

Berkata Al Khathib (Al Baghdadi): “Aku menulis darinya, dia orang yg jujur, shalih, banyak safar, pernah berjumpa para syaikh sufi, ilmu kalamnya bermadzhab ASY’ARI, dan fiqihnya bermadzhab SYAFI’I. Wafat di Baghdad tahun 412 H.” [9]

Imam Tajuddin as Subki Rahimahullah menceritakan tentang

Imam asy Syasyi al Kabir al Qaffal Rahimahullah.

Dalam kitab Thabaqat Asy Syafi’iyah Al Kubra, sebuah kitab biografi para ahli fiqih madzhab Syafi’i. Beliau mengutip dari Imam Ibnu ‘Asakir Rahimahullah:

أَنه كَانَ مائلا عَن الِاعْتِدَال قَائِلا بالاعتزال فى أول مرّة ثمَّ رَجَعَ إِلَى مَذْهَب الأشعرى

Pada awalnya dia cenderung ambil sikap pertengahan dalam bersikap terhadap mu’tazilah, lalu dia ruju’ kepada madzhab ASY’ARI.[10]

Imam Abu al Fadhl bin Naashir Rahimahullah (w. 550 H).

Imam adz Dzahabi mengatakan, Beliau adalah Al Imam, Al Muhaddits, Al Hafizh.[11]

Imam Ibnul Jauzi Rahimahullah bercerita: “Aku bermimpi berjumpa Ibnu Naashir, aku bertanya: “Apa yang Allah perbuat kepadamu?” Beliau menjawab: “Allah telah mengampuniku, Dia berkata kepadaku: Aku (Allah) telah mengampuni 10 ahli hadits di zamanmu, dan kamu adalah pimpinan mereka.” [12]

Imam Abu Thahir As Salafi berkata:

سَمِعَ ابْنُ نَاصر مَعَنَا كَثِيْراً، وَهُوَ شَافعِي أَشعرِي، ثُمَّ انْتقل إِلَى مَذْهَب أَحْمَد فِي الأُصُوْل وَالفُرُوْع، وَمَاتَ عَلَيْهِ، وَلَهُ جُوْدَة حَفِظ وَإِتْقَان، وَحُسنُ مَعْرِفَةٍ، وَهُوَ ثَبْتٌ إِمَامٌ.

Ibnu Nashir banyak mendnegar hadits bersamaku, dia adalah SYAFI’I ASY’ARI, lalu dia berpindah ke madzhab AHMAD baik dalam hal pokok dan cabangnya, dan wafat dalam keadaan itu. Dia memiliki hapalan yang kuat, mantap, bagus pengetahuannya, dan imam yang kokoh. [13]

Masih banyak contoh lainnya. Kami kira ini sudah cukup untuk menunjukkan bukan sebuah masalah ketika ada seorang ulama dahulu dan sekarang yang menyatakan “fiqihnya madzhab  Syafi’i, aqidahnya Asy’ari”, atau “fiqihnya Hanafi, aqidahnya Maturidi”, atau “fiqihnya Hambali, aqidahnya Atsari (salafi).”

Oleh karena itu Imam Abu Ishaq Asy Syirazi Rahimahullah mengatakan:

وأبو الحسن الأشعري إمام أهل السنة، وعامة أصحاب الشافعي على مذهبه، ومذهبه مذهب أهل الحق

Abul Hasan Al Asy’ari, dia adalah Imam Ahlus Sunnah, umumnya pengikut Asy Syafi’i adalah  di atas madzhabnya, dan madzhabnya adalah madzhab Ahlul Haq.[14]

Sikap Ulama Kepada Asy’ariyah

Ada dua pandangan ulama terhadap Asy’ariyah;  kontra dan pro. Ada juga yang kontra namun tidak sampai bersikap keras kepada mereka.

Pihak Kontra

Imam Abu Nashr As Sajazi Rahimahullah (w. 444 H)

Beliau adalah tokoh yang begitu keras terhadap ulama Asy’ariyah, bahkan terhadap Imam Abul Hasan Al ‘Asy’ari Rahimahullah sendiri. Beliau berkata:

ثم بلي أهل السنة بعد هؤلاء بقوم يدعون أنهم من أهل الاتباع. وضررهم أكثر من ضرر (المعتزلة) وغيرهم، وهم: أبو محمد بن كلاب وأبو العباس القلانسي ، وأبو الحسن الأشعري

Kemudian Ahlus Sunnah diuji setelah mereka itu, oleh kaum yang mendakwakan dirinya ahlul ittiba’ (ahlus sunnah), padahal bahaya mereka lebih besar dibanding mu’tazilah dan lainnya, mereka adalah Abu Muhammad bin Kullab, Abul Abbas Al Qalansi, dan Abul Hasan Al ‘Asy’ari. [15]

Beliau juga menyebut banyak nama para Imam Asy’ariyah seperti Al Baqillani, Ibnu Faurak, Al Isfira’ini, dan lainnya, lalu berkomentar:

وكلهم أئمة ضلالة يدعون الناس إلى مخالفة السنة وترك الحديث

Mereka semua adalah para imam kesesatan yang mengajak manusia pada menyelisihi sunnah dan meninggalkan hadits. [16]

Imam Ibnu Khuwaiz Mandad Al Maliki Rahimahullah

Beliau menyebut Asy’ariyah sebagai ahlul bid’ah, saat menafsirkan ucapan Imam Malik Rahimahullah tentang larangan mengambil kesaksian Ahlul Bid’ah:

أَهْلُ الْأَهْوَاءِ عِنْدَ مَالِكٍ وَسَائِرِ أَصْحَابِنَا هُمْ أَهْلُ الْكَلَامِ فَكُلُّ مُتَكَلِّمٍ فَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْأَهْوَاءِ وَالْبِدَعِ أَشْعَرِيًّا كَانَ أَوْ غَيْرَ أَشْعَرِيٍّ وَلَا تُقْبَلُ لَهُ شَهَادَةٌ فِي الْإِسْلَامِ وَيُهْجَرُ وَيُؤَدَّبُ عَلَى بِدْعَتِهِ

Ahlul Ahwa (pengikut hawa nafsu) menurut  Imam Malik dan semua sahabat kami (Malikiyah) adalah ahli kalam, maka semua ahli kalam adalah pengikut hawa nafsu dan ahli bid’ah, baik dia ASY’ARI atau selain Asy’ari. Kesaksian mereka tidak diterima dalam Islam selamanya, dia mesti diboikot dan dibina atas kebid’ahannya. [17]

Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baaz Rahimahullah

Beliau mengkritik Asy’ariyah, namun tetap menyebutnya sebagai Ahlus Sunnah dalam masalah-masalah yang umum, kecuali beberapa masalah saja. Beliau berkata:

الأشاعرة من أهل السنة في غالب الأمور ، ولكنهم ليسوا منهم في تأويل الصفات ، وليسوا بكفار ، بل فيهم الأئمة والعلماء والأخيار ، ولكنهم غلطوا في تأويل بعض الصفات ، فهم خالفوا أهل السنة في مسائل ؛ منها تأويل غالب الصفات ، وقد أخطأوا في تأويلها ، والذي عليه أهل السنة والجماعة إمرار آيات الصفات وأحاديثها كما جاءت من غير تأويل ولا تعطيل ولا تحريف ولا تشبيه

Asya’irah termasuk Ahlus Sunnah dalam perkara umumnya, tetapi mereka bukan termasuk Ahlus Sunnah dalam masalah takwil terhadap sifat, mereka juga bukan kafir, justru pada mereka banyak para imam, ulama, dan orang-orang pilihan, tetapi mereka melakukan kekeliruan dalam takwil sebagian sifat. Mereka menyelisihi Ahlus Sunnah dalam beragam masalah di antaranya takwil sebagian besar sifat, mereka telah keliru dalam takwilnya. Sedangkan yang dianut Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah membiarkan ayat-ayat sifat dan hadits-haditsnya sebagaimana datangnya tanpa ditakwil, ta’thil, tahrif, dan tasybih.[18]

Lajnah Daimah Kerajaan Arab Saudi

Mereka mengkritik, tapi juga memuji di sisi lain terhadap tokoh-tokoh Asy’ariyah. Mereka ditanya tentang seseorang yang wafat dalam keadaan menganut madzhab Asy’ariyah, jawabannya:

أمره إلى الله سبحانه وتعالى؛ لأن الأشاعرة ليسوا كفارا، وإنما أخطأوا في تأويلهم بعض الصفات

Urusannya dikembalikan kepada Allah  ﷻ , karena Asya’irah bukanlah kafir, hanya saja mereka keliru dalam masalah takwil terhadap sebagian sifat-sifat Allah .[19]

Mereka juga berfatwa:

موقفنا من أبي بكر الباقلاني والبيهقي وأبي الفرج بن الجوزي وأبي زكريا النووي وابن حجر وأمثالهم ممن تأول بعض صفات الله تعالى أو فوضوا في أصل معناها – أنهم في نظرنا من كبار علماء المسلمين الذين نفع الله الأمة بعلمهم فرحمهم الله رحمة واسعة وجزاهم عنا خير الجزاء، وأنهم من أهل السنة فيما وافقوا فيه الصحابة رضي الله عنهم وأئمة السلف في القرون الثلاثة التي شهد لها النبي صلى الله عليه وسلم بالخير، وأنهم أخطأوا فيما تأولوه من نصوص الصفات وخالفوا فيه سلف الأمة وأئمة السنة رحمهم الله سواء تأولوا الصفات الذاتية وصفات الأفعال أم بعض ذلك.

Sikap kami terhadap Abu Bakar Al Baqillani, Al Baihaqi, Abul Faraj bin al Jauzi, Abu Zakariya an Nawawi, Ibnu Hajar, dan semisal mereka yang mentakwil Sebagian sifat-sifat Allah atau mentafwidh maknanya, dalam pandangan kami mereka adalah pembesar ulama kaum muslimin yang telah memberikan manfaatnya kepada umat. Semoga Allah  merahmati mereka dengan rahmatNya yang luas, dan membalas mereka dengan kebaikan. Mereka adalah Ahlus Sunnah pada apa-apa yang sesuai dengan pemahaman para sahabat Radhiallahu ‘Anhum dan para imam salaf di tiga abad pertama yang telah diakui kebaikannya oleh Nabi. Mereka keliru pada masalah takwil sebagian sifat, mereka menyelisihi salaf dan para imam sunnah Rahimahulullah, baik pada sifat zatiyah dan sifat af’al, atau sebagian dari hal itu.[20]

Pihak Pro dan Memuji

Imam Abu Ishaq Asy Syirazi Rahimahullah (w. 476 H)

Beliau berkata:

أن الأشعرية أعيان السنة ونصار الشريعة، انتصبوا للرد على المبتدعة من القدرية والرافضة وغيرهم، فمن طعن فيهم فقد طعن على أهل السنة

Bahwa kaum Asy’ariyah merupakan tokoh-tokohnya sunnah dan pembela syariah, mereka mengambil bagian dalam membantah ahli bid’ah kalangan qadariyah, rafidhah (syiah), dan lainnya. Maka, siapa yang mencela mereka sama saja telah mencela Ahlus Sunnah.[21]

Beliau juga berkata:

وأبو الحسن الأشعري إمام أهل السنة، وعامة أصحاب الشافعي على مذهبه، ومذهبه مذهب أهل الحق

Abul Hasan Al Asy’ari, dia adalah Imam Ahlus Sunnah, umumnya pengikut Asy Syafi’i adalah  di atas madzhabnya, dan madzhabnya adalah madzhab Ahlul Haq.[22]

Imam Ibnu Hajar Al Haitami Rahimahullah

Beliau berkata:

المـراد بالسنة ما عليه إماما أهل السنة والجمـاعة الشيخ أبو الحسن الأشعري وأبو منصور الماتريدي

Maksud dari As Sunnah adalah apa yang imam ahlussunah ada di atasnya, yaitu Abul Hasan Al Asy’ariy dan Abu Manshur Al Maturidiy ..[23]

Beliau juga berkata dalam Fatawa Al Haditsiyah, ketika dimintai pendapatnya tentang tokoh-tokoh Asy’ariyah:

هم أئمة الدين وفحول علماء المسلمين، فيجب الاقتداء بهم لقيامهم بنصرة الشريعة وإيضاح المشكلات وردّ شبه أهل الزيغ وبيان ما يجب من الاعتقادات والديانات، لعلمهم بالله وما يجب له وما يستحيل عليه وما يجوز في حقه…….. والواجب الاعتراف بفضل أولئك الأئمة المذكورين في السؤال وسابقتهم وأنهم من جملة المرادين بقوله ‘ ” يحمل هذا العلم من كل خلف عدوله ينفون عنه تحريف الغالين وانتحال المبطلين وتأويل الجاهلين ” فلا يعتقد ضلالتهم إلا أحمق جاهل أو مبتدع زائغ عن الحق، ولا يسبهم إلا فاسق، فينبغي تبصير الجاهل وتأديب الفاسق واستتابة المبتدع

Mereka adalah para imam agama dan kesatrianya ulama kaum muslimin. Wajib mengikuti mereka karena perjuangannya membela syariah dan menjelaskan berbagai persoalan, membantah syubhat orang-orang menyimpang, menjelaskan tentang keyakinan dan kewajiban agama, yang mengajarkan mereka tentang Allah , tentang apa yang wajib padaNya dan yang mustahil padaNya dan apa-apa yang boleh pada hakNya … wajib mengakui keutamaan dan keunggulan para imam yang disebutkan dalam pertanyaan itu. Merekalah yang dimaksud dalam perkataannya: “Ilmu ini akan dibawa orang-orang yang adil untuk menihilkan penyimpangan orang-orang melampaui batas, kerusakan pembawa kebatilan, dan takwil orang-orang bodoh.” Maka, tidak ada yang meyakini kesesatan mereka melainkan orang-orang dungu lagi bodoh, atau ahli bid’ah yang sesat dari kebenaran, dan tidak ada yang mencela mereka kecuali orang fasiq, maka hendaknya orang bodoh itu diberikan hujjah, orang fasik itu dibina, dan ahli bid’ah itu dimintai tobatnya.[24]

Imam As Safarayini Al Hambali Rahimahullah (w. 1188 H)

Beliau berkata:

الفائدة الرابعة التعريف بأهل السنة

(الرَّابِعَةُ) : أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ ثَلَاثُ فِرَقٍ: الْأَثَرِيَّةُ وَإِمَامُهُمْ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، وَالْأَشْعَرِيَّةُ وَإِمَامُهُمْ أَبُو الْحَسَنِ الْأَشْعَرِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ، وَالْمَاتُرِيدِيَّةُ وَإِمَامُهُمْ أَبُو مَنْصُورٍ الْمَاتُرِيدِيُّ، وَأَمَّا فِرَقُ الضَّلَالِ فَكَثِيرَةٌ جِدًّا

Faidah yg keempat: Definisi Ahlus Sunnah. Keempat: Ahlus Sunnah ada tiga kelompok.

Pertama.  Al Atsariyah, imam mereka adalah Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah

Kedua. Al Asy’ariyah,  imam mereka adalah Imam Abul Hasan Al Asy’ari Rahimahullah

Ketiga. Al Maturidiyah, imam mereka adalah Imam Abu Manshur Al Maturidi Rahimahullah

Adapun firqoh sesat sangat banyak. [25]

Imam Murtadha Az Zabidi Al Hanafi Rahimahullah (w. 1205)[26]

Beliau berkata:

إذا أطلق أهل السنة والجماعة فالمراد بهم الأشاعرة والماتريدية

Jika secara mutlak disebut Ahlus Sunnah wal Jamaah, maka maksudnya adalah Al Asyaa’irah dan Al Maturidiyah. [27]

Masih banyak lagi yang lainnya. Para ulama masa kini pun menyatakan bahwa Asy’ariyah adalah Ahlus Sunnah, seperti Syaikh Abdul Fatah Abu Ghudah, Syaikh Yusuf Al Qaradhawi, Syaikh Hasan Ayyub, Syaikh Mushthafa Dib Al Bugha, Syaikh Said Ramadhan Al Buthi, Syaikh Muhammad Hasan Hitu, Syaikh Jasyim An Nisymi, Syaikh Wahbah Az Zuhaili, dan umumnya para ulama besar di Syam, Pakistan, India, Mesir, Maroko, Yaman, dan lainnya.[28]

Apa kata Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah?

Tidak lengkap rasanya jika membicarakan Asy’ariyah tanpa melihat sikap Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah. Beliau bukan Asy’ariy, bukan pula Maturidiy, tapi dikenal sebagai pengikut madzhab salaf, dan fiqihnya Hambali. Dia dikenal sebagai pengkritik pemahaman Asy’ariyah di banyak karyanya, sampai-sampai ada disertasi doktoral yang berjudul Mauqif Ibnu Taimiyah min Al Asya’irah (Sikap Ibnu Taimiyah Terhadap Asya’irah). Namun demikian, Beliau memiliki pandangan bagus terhadap para ulama  Asy’ariyah, dan sangat memberikan penghormatan. Sikap Beliau penting dipelajari untuk mendamaikan dua sikap ekstrim baik pihak yang pro dan kontra. Seolah Beliau ingin menunjukkan kepada pihak yang berseteru: berbeda itu boleh, bertengkar jangan.

Beliau mengatakan tentang madzhab salaf:

فَمَذْهَبُ السَّلَفِ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ إثْبَاتُ الصِّفَاتِ وَإِجْرَاؤُهَا عَلَى ظَاهِرِهَا وَنَفْيُ الْكَيْفِيَّةِ عَنْهَا. لِأَنَّ الْكَلَامَ فِي الصِّفَاتِ فَرْعٌ عَنْ الْكَلَامِ فِي الذَّاتِ وَإِثْبَاتُ الذَّاتِ إثْبَاتُ وُجُودٍ؛ لَا إثْبَاتُ كَيْفِيَّةٍ فَكَذَلِكَ إثْبَاتُ الصِّفَاتِ.

Madzhab salaf -semoga Allah meridhai mereka- adalah itsbat (menetapkan) sifat-sifat Allah dan membiarkannya sebagaimana zahirnya, dan mengingkari tentang kaifiyahnya. Karena, pembicaraan tentang sifat Allah  adalah cabang dari pembicaraan tentang zat Allah  ﷻ. Menetapkan zat adalah menetapkan wujudnya, maka jika tidak ada pembicaraan tentang penetapan  kaifiyah demikian pula pada penetapan terhadap sifat.[29]

Ada pun Asy’ariyah seperti yang sudah dibahas sebelumnya bukanlah  itsbat, tapi takwil yaitu takwil yang layak bagiNya. Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah tetap memberikan penghormatan dengan mengatakan:

  وَأَمَّا لَعْنُ الْعُلَمَاءِ لِأَئِمَّةِ الْأَشْعَرِيَّةِ فَمَنْ لَعَنَهُمْ عُزِّرَ. وَعَادَتْ اللَّعْنَةُ عَلَيْهِ فَمَنْ لَعَنَ مَنْ لَيْسَ أَهْلًا لِلَّعْنَةِ وَقَعَتْ اللَّعْنَةُ عَلَيْهِ. وَالْعُلَمَاءُ أَنْصَارُ فُرُوعِ الدِّينِ وَالْأَشْعَرِيَّةُ أَنْصَارُ أُصُولِ الدِّينِ

Adapun melaknat para ulama Asy’ariyah, maka melaknat mereka mesti dita’zir (dihukum), dan laknat itu kembali kepada pelakunya. Barangsiapa yang melaknat orang yang tidak berhak dilaknat maka laknat itu kembali kepada si pelaknat. Para ulama adalah pembela cabang-cabang agama, sedangkan golongan Asy’ariyah adalah pembela-pembela pokok-pokok agama. [30]

Beliau juga berkata dalam kitabnya yang lain:

وإن كان في كلامهم من الأدلة الصحيحة وموافقة السنة مالا يوجد في كلام عامة الطوائف فإنهم أقرب طوائف أهل الكلام إلى السنة والجماعة والحديث وهم يعدون من أهل السنة والجماعة عند النظر إلى مثل المعتزلة والرافضة ونحوهم بل هم أهل السنة والجماعة في البلاد التي يكون أهل البدع فيها المعتزلة والرافضة ونحوهم

Pada perkataan mereka diambil dari dalil-dalil yang shahih dan sesuai dengan sunnah, yang mana tidak ditemukan pada umumnya golongan-golongan yang lain. Mereka adalah golongan ahli kalam yang paling dekat dengan Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan ahli hadits. Mereka dihitung termasuk Ahlus Sunnah wal Jama’ah ketika disandingkan dengan semisal Mu’tazilah, Rafidhah, dan semisal mereka. Bahkan mereka adalah Ahlus Sunnah di negeri yang di dalamnya bercokol ahli bid’ah seperti Mu’tazilah, Rafidhah, dan semisalnya.[31]

Syaikh Abdurrahman bin Shalih Al Mahmud mengatakan ada dua sikap Imam Ibnu Taimiyah dalam mendiskusikan pemikiran Asy’ariyah, yaitu: Pertama, bersikap inshaf (objektif) dalam perdebatan dan mengakui kebenaran yang ada bersama mereka (Asy’ariyah). Kedua, membantah Asy’ariyah pada masalah yang menyelisihi Ahlus Sunnah dalam berbagai perkara yang dianggapnya tidak benar.[32]

Upaya Kompromi Sebagian Ulama

Sebagian ulama ada yang mencoba mencari titik temu dan mendamaikan antara Salaf dan Khalaf, atau Atsari dan Asy’ari.  Di antara dua pendapat ini, sebenarnya masih ada jalan untuk dikompromikan, dalam arti tidak sampai saling menuduh fasiq bahkan kafir. Sebab pada dasarnya dua pemahaman ini bertemu dalam beberapa titik pokok. Di antaranya:

  1. Keduanya sama-sama menghendaki kesucian dan keagungan bagi sifat-sifat Allah ﷻ
  2. Keduanya sama-sama tidak ingin menyamakan Allah ﷻ dengan makhluk sedikit pun
  3. Tapi, keduanya berbeda dalam caranya saja. Kelompok pertama mensucikan sifat-sifatNya dengan memangkas semua bentuk ta’wil, memahami apa adanya sebagaimana zahirnya. Kelompok kedua memberikan ta’wil dalam rangka mensucikannya dari ta’wil-ta’wil menyimpang, sebagai koridor, agar orang jahil dan awam memmiliki panduan apalagi setelah Islam menyebar ke negeri-negeri tak berbahasa Arab.

Misalnya, yang dikatakan Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah:

أَنِّي مِنْ أَعْظَمِ النَّاسِ نَهْيًا عَنْ أَنْ يُنْسَبَ مُعَيَّنٌ إلَى تَكْفِيرٍ وَتَفْسِيقٍ وَمَعْصِيَةٍ، إلَّا إذَا عُلِمَ أَنَّهُ قَدْ قَامَتْ عَلَيْهِ الْحُجَّةُ الرسالية الَّتِي مَنْ خَالَفَهَا كَانَ كَافِرًا تَارَةً وَفَاسِقًا أُخْرَى وَعَاصِيًا أُخْرَى وَإِنِّي أُقَرِّرُ أَنَّ اللَّهَ قَدْ غَفَرَ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ خَطَأَهَا: وَذَلِكَ يَعُمُّ الْخَطَأَ فِي الْمَسَائِلِ الْخَبَرِيَّةِ الْقَوْلِيَّةِ وَالْمَسَائِلِ الْعَمَلِيَّةِ. وَمَا زَالَ السَّلَفُ يَتَنَازَعُونَ فِي كَثِيرٍ مِنْ هَذِهِ الْمَسَائِلِ وَلَمْ يَشْهَدْ أَحَدٌ مِنْهُمْ عَلَى أَحَدٍ لَا بِكُفْرِ وَلَا بِفِسْقِ وَلَا مَعْصِيَةٍ

Aku adalah orang yang paling menonjol dalam hal larangan menyebut manusia (muslim) secara spesifik dengan: kafir, fasik, dan maksiat. Kecuali telah diketahui bahwa telah ditegakkan hujjah kepada yang menyelisihinya, maka dia bisa kafir, fasik, atau pelaku maksiat di sisi lain. Aku nyatakan bahwa Allah telah mengampuni kesalahan umat ini, dan itu berlaku umum baik kesalahan pada masalah khabariyah (aqidah) berupa perkataan dan perkara amaliyah. Kaum salaf senantiasa berselisih pendapat dalam banyak masalah namun tidaklah disaksikan mereka mengkafirkan, memfasikan, dan menyebut maksiat atas lainnya.[33]

Juga dikatakan oleh Imam Asy Syathibi Rahimahullah dalam Al I’tisham:

وَمِنْ أَشَدِّ مَسَائِلِ الْخِلَافِ -مَثَلًا- مَسْأَلَةُ إِثْبَاتِ الصِّفَاتِ؛ حَيْثُ نَفَاهَا مَنْ نَفَاهَا، فَإِنَّا إِذَا نَظَرْنَا إِلَى مَقَاصِدَ الْفَرِيقَيْنِ وَجَدْنَا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا حَائِمًا حَوْلَ حِمَى التَّنْزِيهِ وَنَفْيِ النَّقَائِصِ وَسِمَاتِ الْحُدُوثِ، وَهُوَ مَطْلُوبُ الْأَدِلَّةِ. وَإِنَّمَا وَقَعَ اخْتِلَافُهُمْ فِي الطَّرِيقِ، وَذَلِكَ لَا يُخِلُّ بِهَذَا الْقَصْدِ فِي الطَّرَفَيْنِ مَعًا، فَحَصَلَ فِي هَذَا الخلاف أشبه الواقع بينه وبين الخلاف والواقع في الفروع

Salah satu contoh  perdebatan sengit adalah perdebatan masalah penetapan sifat,  apabila kita teliti maksud kedua kelompok, kita dapatkan bahwa keduanya berkeyakinan melindungi kesucian, menafikan kekurangan, dan ini diperintahkan oleh banyak dalil. Perbedaan mereka hanyalah pada cara yang ditempuh, dan ini sama sekali tidak membuat noda niat mereka sama sekali. Alhasil, kadar perbedaan ini layaknya seperti perbedaan furu’ saja.[34]

Pembahasan lebih detil lagi dari Imam Hasan Al Banna Rahimahullah.  Beliau berkata:

أولا : اتفق الفريقان على تنزيه الله تبارك وتعالى عن المشابهة لخلقه

ثانيا : كل منهما يقطع بأن المراد بألفاظ هذه النصوص في حق الله تبارك وتعالى غير ظواهرها التي وضعت لها هذه الألفاظ في حق المخلوقات ، وذلك مترتب على اتفاقهما على نفي التشبيه .

ثالثا : كل من الفريقين يعلم أن الألفاظ توضع للتعبير عما يجول في النفوس ، أو يقع تحت الحواس مما يتعلق بأصحاب اللغة وواضعيها ، وأن اللغات مهما اتسعت لا تحيط بما ليس لأهلها بحقائقه علم ، وحقائق ما يتعلق بذات الله تبارك وتعالى من هذا القبيل ، فاللغة أقصر من أن تواتينا بالألفاظ التي تدل على هذه الحقائق ، فالتحكم في تحديد المعاني بهذه الألفاظ تغرير .

وإذا تقرر هذا فقد اتفق السلف والخلف على أصل التأويل ، وانحصر الخلاف بينهما في أن الخلف زادوا تحديد المعنى المراد حيثما ألجأتهم ضرورة التنزيه إلى ذلك حفظا لعقائد العوام من شبهة التشبيه ، وهو خلاف لا يستحق ضجة ولا إعناتا

Pertama. Kedua kelompok sepakat dalam mensucikan Allah dari bentuk penyerupaan dengan makhlukNya.

Kedua. Semua kelompok sepakat untuk memutuskan bahwa maksud lafal dalam nash-nash seperti ini sepenuhnya dalam konteks yang sesuai dengan zat Allah , bukan sebagaimana dipahami untuk makhlukNya. Dengan demikian keduanya sepakat menghindari tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk).

Ketiga. Semua pihak sepakat bahwa lafal-lafal ini disebutkan untuk mendekatkan pemahaman dalam benak, atau diletakkan dalam kerangka indrawi pengguna bahasa itu. Dan sebuah bahasa betapa pun tingginya, tidak mampu mengungkapkan sesuatu yang memang tidak dimengerti oleh penggunanya. Esensi yang berhubungan dengan zat Alah dipahami dalam konteks tersebut. Bahasa memang memiliki kelemahan untuk mengungkapkan hakikat ini.

Jika sudah ditetapkan yang demikian ini, maka antara salaf dan khalaf sepakat  secara prinsip atas dasar-dasar ta’wil. Perbedaan mereka adalah bahwa khalaf menambahkan pembatasan makna yang dikandung dengan tetap menjaga kesucian Allah dengan tujuan agar orang awam tidak terjerumus dalam pemahaman tasybih. Perbedaan seperti ini tidak seharusnya menghasilkan kegoncangan.[35]

Lalu Beliau melanjutkan:

وخلاصة هذا البحث أن السلف والخلف قد اتفقا على أن المراد غير الظاهر المتعارف بين الخلق ، وهو تأويل في الجملة ، واتفقا كذلك على أن كل تأويل يصطدم بالأصول الشرعية غير جائز ، فانحصر الخلاف في تأويل الألفاظ بما يجوز في الشرع ، وهو هين كما ترى ، وأمر لجأ إليه بعض السلف أنفسهم ، وأهم ما يجب أن تتوجه إليه همم المسلمين الآن توحيد الصفوف

Kesimpulan dari kajian ini adalah ulama khalaf dan salaf sepakat bahwa kandungan maksud itu bukan  pada lahiriyahnya lafal yang telah dikenal oleh makhluk, tapi ia adalah ta’wil yang masih global. Mereka juga sepakat bahwa semua ta’wil yang  bertentangan dengan syariat adalah terlarang. Perbedaan hanyalah terjadi pada perbedaan lafal yang mana perbedaan itu masih dibolehkan oleh syara’, dan itu masalah ringan sebagaimana engkau lihat, dan ini juga hal yang para salaf sering  mengalaminya.  Yang terpenting untuk dilakukan  bagi kaum muslimin sekarang adalah penyatuan barisan, menghimpun kata sedapat yang kita mampu lakukan. [36]

Penutup

Keberadaan madzhab Asy’ariyah (Asya’irah) sebagai madzhab aqidah terbesar di dunia Islam tidak bisa dipungkiri dan kedekatannya dengan Ahlus Sunnah -bahkan merekalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah- juga tidak bisa dingkari. Bahkan para pengkritiknya yang objektif -seperti Imam Ibnu Taimiyah dan Al Lajnah Ad Daimah kerajaan Arab Saudi- juga mengakui bahwa mereka adalah Ahlus Sunnah walau para pengkritiknya berbeda dengan Asy’ariyah dalam beberapa hal, khususnya dalam masalah penetapan sifat-sifat Allah ﷻ. Semoga umat Islam bisa lebih lapang dada dalam perbedaan seperti ini dan menyikapi saudaranya sesama muslim dengan ramah, selama mereka masih dikatakan muslim sudah layaknya mendapatkan hak-hak sebagai saudara sesama muslim.

Demikian. Wallahu A’lam

Wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

🌷☘🌺🌴🌻🍃🌾🌸

✍ Farid Nu’man Hasan


[1] Syaikh Abdurrahman bin Shalih Al Mahmud dalam disertasinya yang berjudul Mauqif Ibnu Taimiyah min Al Asya’irah  mengatakan bahwa dahulu tersebarnya Asy’ariyah sampai mendominasi dunia Islam karena ditopang para ulama dan di dukung penguasa. Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah dianggap yang paling tenar menahan laju Asy’ariyah setelah sebelumnya berkuasa di dunia Islam, dengan menghidupkan lagi pemahaman salaf sampai-sampai Al Muqrizi mengatakan: “Inilah sebab Asy’ariyah tersebar seantero dunia Islam, sehingga hari ini tidak ada yang tersisa yang menyelisihi Asy’ariyah kecuali HANABILAH (HAMBALIYAH), yaitu pengikut Abu Abdillah Ahmad bin Hambal, mereka tidak mentakwil sebagaimana  di atas jalan salaf terhadap sifat-sifat Allah , sampai setelah tahun 700 hijriyah  dengan tokohnya Abul Abbas Ibnu Taimiyah di Damaskus, dia yang menghadapi Asy’ariyah, Rafidhah, dan Sufiyah, dengan menyebarkan madzhab salaf.” (Juz. 1, Hal. 9. Maktabah Ar Rusyd, Riyadh)

[2] Imam Adz Dzahabi, Siyar A’lam an Nubala, 11/392

[3] Imam Ibnu Katsir, Thabaqat al Fuqaha sy Syafi’iyyin, 1/210. Dalam Al Ibanah, Beliau menetapkan bahwa Allah ﷻ ada di atas ‘ArsyNya bersemayam. Semua kata ‘ala diartikan langit. ‘ArsyNya di atas langit. Beliau pun menyebut memaknai istawa dengan istawla (menguasai) adalah kesesatannya kaum mu’tazilah, jahmiyah, haruriyah. (Al Ibanah, hal. 105-108). Padahal bagi Asy’ariyah, istiwa’ itu ditakwil dengan istawla.

[4] Di antara yang menolak adalah Imam Muhammad Zahid Al Kautsari Rahimahullah (tokoh ini sangat dibenci oleh kalangan salafiyah, dan menyebutnya mubtadi’), menurutnya kitab Al Ibanah telah mengalami tahrif (perubahan) oleh orang-orang hasyawiyah mujassimah. Ini juga dikatakan oleh peneliti lainnya, seperti Syaikh Abdurrahman Badawi dan Syaikh Khalid Zuhri, bahwa Al Ibanah yang saat ini beredar sangat diragukan keasliannya sebagai tulisan Imam Abul Hasan al Asy’ari Rahimahullah.

[5] Di antara peneliti yang menunjukkan kitab Al Ibanah yang  dipakai kalangan salafiyah telah ditahrif (diubah) dari aslinya adalah Syaikh Hamd As Sinan dan Syaikh Fauzi Anjazi dalam kitab mereka berdua:  Ahlus Sunnah Al Asya’irah Syahadah ‘Ulama Ummah wa Adillatuhum

 

[6] Imam Ibnu Hajar, Lisan Al Mizan, 4/486. Dalam

[7] Syaikh Hamd As Sinan dan Syaikh Fauzi Anjazi, Ahlus Sunnah Al Asya’irah Syahadah ‘Ulama Ummah wa Adillatuhum, hal. 38

[8] Imam Ibnush Shalah, Thabaqat al Fuqaha asy Syafi’iyah, 1/313

[9] Ibid, 1/444

[10] Imam Tajuddin As Subki, Thabaqat asy Syafi’iyah al Kubra, 3/201

[11] Imam Adz Dzahabi, Siyar A’lam an Nubala, 15/79

[12] Ibid, 15/82

[13] Ibid, 15/81

[14] Ath Thabaqat Asy Syafi’iyah, 3/376

[15] Imam Abu Nashr As Sajazi, Risalah As Sajazi Ila Ahli Zabid fi Ar Radd ‘ala Man Ankara Al Harf wa ash Shaut, hal. 343-344

[16] Ibid, Hal. 346

[17] Dikutip oleh Imam Ibnu Abdil Bar, Jami’ al Bayan al ‘Ilmi wa Fadhlih, 2/942

[18] Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, Majmu’ Fatawa, 28/256

[19] Fatwa Al Lajnah Ad Daimah no. 6606

[20] Ibid, no. 5082

[21] Imam Abu Ishaq Asy Syirazi, Thabaqat al Fuqaha, Hal. 14

[22] Ath Thabaqat Asy Syafi’iyah, 3/376

[23] Imam Ibnu Hajar Al Haitami, Az Zawaajir, Hal. 82

[24] Imam Ibnu Hajar Al Haitami, Fatawa Al Haditsiyah, hal. 205

[25] Imam Syamsuddin As Safarayini, Lawami’ Al Anwar Al Bahiyah wa Sawathi’ Al Asrar Al Atsariyah, 1/73. Namun, ada ulama Najd (saat ini Saudi) yang mengkritik Imam As Safarayini, yaitu Syaikh Ibnu Sahman dan Syaikh Abdullah Babathin, dalam Hasyiyahnya terhadap kitab Lawami’ Al Anwar no. 4. Mereka tidak terima jika Maturidiyah dan Asy’ariyah dimasukkan ke dalam Ahlus Sunnah. Menurutnya Ahlus Sunnah hanya satu yaitu Atsariyah. Ini sesuai madzhabnya yaitu Hambali.

[26] Beliau wafat karena Tha’un pada 4 Sya’ban 1205 (13 September 1790). Beliau pakar hadits, fiqihnya Hanafi, dan juga pakar Bahasa, pengarang kamus: Tajul ‘Arus.

[27] Imam Murtadha Az Zabidi, Ittihaf As Saadah Al Muttaqin, 2/6

[28] Di mata salafiyah era modern, pendukung Asy’ariyah dan Maturidiyah hanyalah menggunakan nama Ahlus Sunnah wal Jama’ah padahal bukan termasuk Ahlus Sunnah, karena  dulu mereka kuat dan berkuasa maka mereka punya situasi yang menguntungkan menyebut dirinya Ahlus Sunnah wa Jama’ah. Inilah yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdillah bin ‘Ali Al Wahyi dalam Nawaqidh Al Iman Al I’tiqadiyah: “Penggunaan istilah Ahlus Sunnah oleh kalangan Asy’ariyah dan Maturidiyah dan orang-orang yang terpengaruh mereka,  sama sekali tidak mengubah hakikat  bid’ah dan  penyimpangan mereka dari jalan Salaf ash Shalih dibanyak bab dan persoalan.” (Hal. 11). Apa yang katakannya, membawa konsekuensi bahwa para imam besar seperti Al Ghazali, Al Juwaini, An Nawawi, Ibnu Hajar, As Suyuthi, dll, hanyalah ngaku-ngaku Ahlus Sunnah. Tentu ini tuduhan berat.

[29] Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Al Fatawa, 4/6

[30] Ibid, 4/16

[31] Imam Ibnu Taimiyah, Bayan Talbis Al Jahmiyah, 3/538

[32] Syaikh Abdurrahman bin Shalih Al Mahmud, Mauqif Ibnu Taimiyah min Al Asya’irah, 1/1385

[33] Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Al Fatawa, 3/229

[34] Imam Asy Syathibi, Al I’tisham, hal. 502

[35] Imam Hasan Al Banna, Majmu’ah Ar Rasail, Bab Al Aqaid,  Hal. 330

[36] Ibid, hal. 331

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

scroll to top